Abdul dan Bangun yang mangkal di Ruang Enam, singgah sejenak
di Ruang Tujuh. Dan emang gitu,
anak-anak kelas Dua Biologi Dua yang mangkal
di Ruang Enam dan Delapan, biasanya doyan
singgah terlebih dahulu barang beberapa menit di Ruang Tujuh sebelum bel masuk nyanyi. Harap dimaklum bahwa di Ruang
Tujuh, penghuninya 23 siswa, semuanya adalah anak-anak kelas Dua Biologi Dua.
Sedangkan 17 siswa lainnya tersebar di dua ruang, yaitu Ruang Enam dan Delapan.
Nah, ketika datang, Abdul dan
Bangun langsung bikin gebrakan dengan
sebuah lagu. Lagunya boleh juga, lagu yang sedang top, Nona Manis.
Hasilnya?
Anak-anak yang sedang ngapalin, goyang-goyangin kakinya atau tangannya. Terlena oleh musik yang dimainkan
kedua anak itu. Rasanya gak terlalu
salah kalau mereka dianggap sebagai anak yang berbakat karena dengan alat musik
yang sederhana, yaitu meja dan kursi, mereka dapat bermain dengan bagus. Suatu
bakat yang harus dipupuk dan dibina terus.
Bel berteriak, mereka kabur.
Sang guru pengawas datang
beberapa menit kemudian.
“Buku-bukunya, simpan di depan
ya!”titah beliau.
Anak-anak memenuhi titahnya agar gak didiskualifikasi dan jangan
diragukan lagi bahwa emang udah dari dulu bahwa anak-anak kelas Dua
Bilogi Dua adalah murid-murid yang penurut. Bukan somse.
Usai lembar soal dan jawaban
dibagikan, anak-anakpun larut dalam keasyikannya masing-masing. Tapi, Yayan yang dari tadi lirik
kanan kiri-depan belakang, rupanya mengundang sang pengawas untuk bertandang ke
mejanya karena gerak-geriknya yang terlalu mencurigakan.
“Mana lembar jawaban kau?”tanya
sang pengawas.
Yayan belum punya keberanian
untuk menjawabnya.
“Mana?”desak beliau.
“Sama Roni, Bu.”
Sang Pengawas mengambil lembar
jawaban itu anak. Wah, muka Yayan ngedadak
angus. Seperti kebakar lilin.
Merah. Merahnya “merah”. Gak sanggup
untuk nanggung malu. Malu sekaliiiii...
“Kenapa kau kasih lembar jawaban padanya?”
Yayan diam.
“Udah paten rupanya?”
Untuk pertanyaan itu, Yayan gak tinggal diam.
“Saya memang paten, Bu!”
“Jawab!”bentak beliau.
“Lho, yang itu bukan jawaban ya,
Bu!”
“Pertanyaan pertama.”
“Ya, namanya juga kerja sama, Bu.
Gak ada kesan kerja paksa di antara
kami. Toh, hubungan diplomatik kami sangatlah erat. Sangat erat banget!”
“Kerja sama boleh-boleh aja karena juga pernah Ibu alami, tapi
memberikan lembar jawaban? Gak bisa Ibu terima!”
“O, jadi kalau lembar soal yang sudah diisi, kemudian diberikan
pada yang lain, gak apa-apa ya,
Bu?”Yayan bertanya.
Beliau gak ngasih jawaban.
“Dan biasanya juga begini,
Bu!”lanjut Yayan.
“Kalau sama Ibu, lain!”
“Lain gimana, Bu?”tanya Odor.
“Tegas!”
“Contohnya, Bu?”Hendra ikut
bertanya.
“Singa!”celetuk Suka.
Sang pengawas mendengus kesal.
Beliau meninggalkan Yayan dengan wajahnya yang lagi berbengong-ria.
“Bagaimana, Joel?”tanya Yayan.
“Udah, kau minta maaf aja. Maaf, Bu. Saya mau pulang aja!”usul Joelis.
“Aku kan gak salah. Emangnya aku nyontek apa?”
“Kok tanya sama aku?”Joelis balik nanya.
“Aku gak mau, Joel!”
“Ya, udah!”
Situasi dan kondisi menjadi
sedikit hiruk pikuk. Keadaan jadi gak karuan
di mana solidaritas anak-anak mulai bangkit karena gak terima nasib temannya yang lembar jawabannya diambil pengawas.
Sang pengawas pun ngerti.
Keputusannya?
“Mesti diapakan dia?”beliau minta
pendapat anak-anak.
“Beri lembar jawaban baru,
Bu!”usul Mister.
“Baik, tapi kau ngerjainnya di sini!”ucap beliau sambil nunjuk meja guru yang tergeletak tanpa
daya di sudut ruang.
Mulanya Yayan nolak karena ia gak tega nengok sang
pengawas yang gak duduk dan hanya
berjalan nengkene nengkono. Terus,
jika dilihat dari segi etika, jelas Yayan gak
sopan. Duduk di kursi guru, sedang beliau ada di depan matanya, walaupun saat
ini sebagai Pengawas. Padahal kalau gak
ada guru, meja tersebut sering diduduki kursinya atau bahkan mejanya. Tetapi
berkenaan adanya pemaksaan dari beliau, Yayan menerimanya dengan segala kelapangan
di dadanya.
Kejadian di atas, gak lain tercetus, terlahir dan terbukti
sebagai buah dari perjanjian yang telah mereka buat dan sepakati di hari
pertama ujian. Anak-anak gak berani
untuk melanggarnya. Gitu juga dengan Yayan. Jika dia bisa ngisi lembar jawaban, maka dengan segera
ia mengamalkannya, walaupun belum semua jawaban ada di situ. Gak secuilpun di
hatinya yang putih untuk menyembunyikannya.
Maka jangan heran kalau kerja sama
dalam segala bentuknya, jadi pemandangan yang biasa terjadi selama ujian
berlangsung di Ruang Tujuh. Entah di
ruang lain. Moga aja kagak. Bentuknya
dapat berupa saling ngasih lembar
jawaban, lembar soal yang sudah diisi atau main lempar jawaban dalam secarik
kertas. Paling sederhana adalah main mata dan kode alam.
Sekarang, Yayan tertimpa tangga.
Memang begitulah perjuangan.
Penuh dengan yang namanya pengorbanan dan Yayan nyadar hingga ia menganggap, peristiwa yang dialaminya adalah wajar
dan berlaku umum. Bukan suatu hal yang asing. Toh, hari ini ujian yang terakhir. Hari pamungkas.
Dan ternyata betul adanya apa
kata pepatah. Lain parang lain belati. Lain orang lain hatinya. Artinya, sikap
seorang guru yang begini akan lain dengan sikap seorang guru yang begitu.
Betul, kan?
Walaupun duduk di kursi guru,
hubungan diplomatik antara Yayan dengan teman-temannya tetap kejalin meski dengan ruang lingkup yang
lebih terbatas. Lalu, apakah hubungan diplomatik takkan terjalin hanya karena
tempat yang berjauhan? Tentu jawabnya kagak.
Sebagai bukti, Hunter yang duduk di belakang masih bisa ngasih tahu Yayan. Ngagumin, bukan? Sekaligus ngejengkelin.
Sejurus kemudian, Guru Lab Bahasa
Inggris, memasuki Ruang Tujuh. Niat beliau akan membagikan lembar pengumuman
tentang pembagian raport. Tapi, ketika sepasang matanya melihat seonggok mahluk
putih asyik ngerjain soal ujian di
kursi guru, tergerak juga hatinya untuk bertanya.
“Kenapa?”tanya beliau sebelum bagiin kertas-kertas pengumuman.
“New Teacher!”jawab sang pengawas.
Dikata begitu, Yayan berdiri. Lalu membungkukkan badanya seraya ngucapin thank you, gak ubahnya pemeran utama film Jepang berjudul My Geisha. Anak-anak
bengong, pun dengan beliau-beliau. Bengong semuanya.
Setelah usai melaksanakan
tugasnya, itu guru meninggalkan Ruang Tujuh dengan seonggok kebengongan dalam pikirannya. Sementara
itu, anak-anak kembali pada keasyikannya masing-masing. Tetapi teman, sang pengawas
masih kesal terhadap Yayan yang duduk di kursi guru itu. Pasalnya, Yayan tetap
saja ngadain kerja sama. Sang pengawaspun
berdiiri di depannya untuk melihat drama antara Yayan dan Iyem yang asyik
masyuk main bisik. Malah pakai kerling mata.
“Tengok! Di depan Ibu, dia masih
berani!”
Ups, Yayan kaget. Dengan segera ia mengalihkan tatapannya ke arah
luar. Lewat jendela berterali besi, dilihatnya orang-orang yang sedang nyebrang dengan ‘getek’, rakit. Maklum, beberapa hari lalu, jembatan Sei Bingai
rusak akibat kendaraan yang melintas di atasnya melebihi batas bobot yang telah
ditentukan dan juga dikarenakan umur jembatan yang emang udah uzur.
“Napa kau berani gitu, hah?”tanya
beliau.
“Berani karena benar!”jawab Yayan
kalem.
“Apanya yang benar?”
“Saya gak nyontek. Saya berbuat kebaikan.”
“Lha itu, kau main mata, dengan siapa ini?”
“Iyem, Bu!”Iyem berdiri lalu
menjulurkan tangan kanannya, hendak bersalaman.
“Apa-apaan ini?”beliau belum ngerti maksud Iyem.
“Iyem, Bu!”
Baru ibu itu mengerti, Iyem mau
berkenalan. Setelah salaman, Iyem duduk
kembali.
“Main mata kan boleh, Bu. Lagi
pula saya dengan Iyem adalah teman. Gak
ada hal yang istimewa di antara kami. Sesama teman kan wajar. Yang gak wajar,
jika iyem udah punya tunangan. Kalau gitu, gak bolehlah saya main mata dengannya!”
Iyem mendelik sewot denger ucapan Yayan.
“Tapi jangan di depan Ibu!”
“Oh, itu salah Ibu. Kenapa Ibu
berada di depan kami!”
Sang pengawas itu, mengaku kalah.
Wajahnya tampak murung.
Yayan yang melihatnya, pikirannya
hanyut. Segera Yayan mengajukan permohonan maaf. Sang pengawas pun menerimanya
dengan senang hati, haru dan rasa bangga. Bahkan beliau mengelus-elus kepala
Yayan yang benjol. Dan idiiiiih, anak-anak lainnya pada ‘ange’, iri melihatnya. Merekapun maju serentak. Ingin dielus-elus
seperti Yayan.
“Aduuuh, jangan acak-acakan gini. Antri, ya!”pinta beliau.
Anak-anak nurutin titahnya, ngebentuk
antrian yang cukup panjang, layaknya antrian di tahun enam puluhan. Meski
melelahkan, beliau melakoninya dengan senang hati. Layaknya seorang ibu
mengelus anak kandungnya sendiri. Begitu juga dengan anak-anak. Mereka senang
betul. Betul-betul senang.
Tampaknya, mereka udah lama merindukan hal tersebut untuk
kembali terjadi pada diri mereka yang rata-rata berumur 17 tahun setelah untuk
yang terakhir kalinya merasakan betapa nikmatnya dielus babeh dan enyak di kala
usia mereka nginjak bangku sekolah.
Ceritanya, mereka ingin bernostalgia.
Usai dielus, mereka kembali duduk
bersama lembar soal dan lembar jawabannya lagi. Seperti sebelumnya, kerja sama
tetap terjalin hingga bel tanda bubaran berteriak lantang.
*
Di luar kelas, anak-anak kelas Dua
Biologi Dua membentuk barisan. Mau apa mereka? O, ternyata mereka mau merayakan
kebebasan yang sifatnya sementara itu, dengan bermain kereta api.
Karbol yang anatomi tubuhnya
mirip sekali dengan lokomotif, memimpin barisan tersebut. Karbol bisa pas
sebagai pemeran lokomotif karena anak yang berat kotornya sekitar 82 kg itu,
telah dididik di sekolah gajah Way Kambas, Lampung. Harap dimaklum, ketika dia
keluar paksa dari genderang perut ibunya, Karbol dikira anak gajah karena
gemuknya yang berlebih. Tetapi babehnya nyangkal.
Anak itu gemuk karena keturunan dari genetik babehnya. Emaknya ngotot, babehnya ngalah. Karbolpun dibawa ke Way Kambas dengan maksud agar
itu gajah, eh Karbol, gak jadi liar.
Melihat mereka berkereta api-ria,
anak-anak kelas dua lainnya, mengikutinya. Bahkan anak-anak kelas satu, nekad
juga masuk barisan. Padahal mereka belum ujian. Semula, para guru melarang
keras anak-anak kelas satu untuk masuk dalam gerbong, tapi apa daya dari
beliau-beliau. Tekad anak-anak itu gak kebendung
siapapun.
“Bagaimana, Pak?”tanya wakasek
kepada kepsek.
“Apanya yang bagaimana?”kepsek
malah mengajukan pertanyaan.
“Itu, anak-anak kelas satu!”
“Biarlah. Merea ujian dalam
gerbong kereta api aja. Dua puluh
guru harus ngawasin. Ingat, jangan
sampai ada yang nyontek!”.
“Siap....tapi Bapak mau ke
mana?”wakasek kembali bertanya.
“Kenapa rupanya?”sekali lagi,
kepsek ngajuin pertanyaan.
“Bajunya, kok dirapihin!”
“Ah, biasanya juga rapih
begini!”kilah kepsek.
“Kali ini lain, Pak. Ada apa?”
“Aku juga mau ikutan berkereta
api-ria....”
“Saya boleh ikut, Pak?”
“Boleh!”
“Bakal asyik punya, nich!”ucap wakasek girang.
Maka, demi yang termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, para
guru ngadain ujian jalanan yang
merupakan ujian jalanan yang pertama kali diadakan di Indonesia atau mungkin di
dunia. Hebat, kan?
Sekitar 720 siswa ditambah para
guru, kereta api tersebut melewati Jalan Simpang. Abang becak yang mangkal di mulut jalan, gak mau ketinggalan. Mereka nekad ninggalin becaknya, bergabung dengan
para siswa.
Semula, polisi yang melihat itu
barisan, menganggapnya sebagai aksi demo dan mau membubarkannya dengan gas air
mata. Tapi setelah melihat beberapa guru yang sedang melakukan pengawasan
ekstra ketat terhadap anak-anak kelas satu, polisi tersebut memahaminya.
Alhasil, dibiarkannya kereta api tanpa cerobong itu terus melaju mulus. Bahkan
selanjutnya, para polisi memberikan rasa aman dengan mengawal jalannya seluruh
gerbong. Kereta apipun semakin leluasa
merambah jalanan Kota Binjai. Segala jenis kendaraan, membiarkannya lewat
terlebih dahulu.
Ketika melewati kantor walikota,
Pak Wali yang sedang asyik mejeng di
depan kantornya, tergerak hatinya untuk berpartisipasi. Pak Walipun meluber, masuk ke dalam gerbong.
“Ah, ini baru hebat. Sejak kecil,
diriku belum pernah main seperti ini!”bathin
Pak Wali.
Para pegawai yang melihat
pemimpinnya bergabung, ikut masuk juga ke dalam beberapa gerbong.
Kereta api semakin panjang dengan
bergabungnya anak-anak dari SMA Taman Siswa. Bahkan seluruh gurunya turut masuk
ke dalam rangkaian gerbong. Gak mau jika
hanya berdiri sebagai penonton.
“Ini dia kesempatan untuk beramah
tamah dengan Pak Wali dan guru SMAN 1,”bisik
hati seorang guru SMA Tamsis.
“Apakah kami boleh ikut,
Pak?”tanya Kepsek Tamsis.
“Oh, dengan senang hati. Gak ada yang ngelarang. Silakan!”ucap wakasek yang berperan sebagai masinis.
“Betul, nich?”
“Betul!”
“Apa gak ganggu siswa yang
sedang ujian?”
“Ah, tidak!”
Makin lama itu kereta api makin
bertambah banyak gerbongnya dan dan makin panjang. Panjang, panjang, panjang
dan panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang sekaliiiiiiiiiiii.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar