Minggu, 22 Desember 2013

DELAPAN


Abdul dan Bangun yang mangkal di Ruang Enam, singgah sejenak di Ruang Tujuh. Dan emang gitu, anak-anak kelas Dua Biologi Dua yang mangkal di Ruang Enam dan Delapan, biasanya doyan singgah terlebih dahulu barang beberapa menit di Ruang Tujuh sebelum bel masuk nyanyi. Harap dimaklum bahwa di Ruang Tujuh, penghuninya 23 siswa, semuanya adalah anak-anak kelas Dua Biologi Dua. Sedangkan 17 siswa lainnya tersebar di dua ruang, yaitu Ruang Enam dan Delapan.

Nah, ketika datang, Abdul dan Bangun langsung bikin gebrakan dengan sebuah lagu. Lagunya boleh juga, lagu yang sedang top, Nona Manis.

Hasilnya?

Anak-anak yang sedang ngapalin, goyang-goyangin kakinya atau tangannya. Terlena oleh musik yang dimainkan kedua anak itu. Rasanya gak terlalu salah kalau mereka dianggap sebagai anak yang berbakat karena dengan alat musik yang sederhana, yaitu meja dan kursi, mereka dapat bermain dengan bagus. Suatu bakat yang harus dipupuk dan dibina terus.

Bel berteriak, mereka kabur.

Sang guru pengawas datang beberapa menit kemudian.
“Buku-bukunya, simpan di depan ya!”titah beliau.

Anak-anak memenuhi titahnya agar gak didiskualifikasi dan jangan diragukan lagi bahwa emang udah dari dulu bahwa anak-anak kelas Dua Bilogi Dua adalah murid-murid yang penurut. Bukan somse.

Usai lembar soal dan jawaban dibagikan, anak-anakpun larut dalam keasyikannya masing-masing. Tapi, Yayan yang dari tadi lirik kanan kiri-depan belakang, rupanya mengundang sang pengawas untuk bertandang ke mejanya karena gerak-geriknya yang terlalu mencurigakan.
“Mana lembar jawaban kau?”tanya sang pengawas.
Yayan belum punya keberanian untuk menjawabnya.
“Mana?”desak beliau.
“Sama Roni, Bu.”

Sang Pengawas mengambil lembar jawaban itu anak. Wah, muka Yayan ngedadak angus. Seperti kebakar lilin. Merah. Merahnya “merah”. Gak sanggup untuk nanggung malu. Malu sekaliiiii...
“Kenapa kau kasih lembar jawaban padanya?”
Yayan diam.
Udah paten rupanya?”
Untuk pertanyaan itu, Yayan gak tinggal diam.
“Saya memang paten, Bu!”
“Jawab!”bentak beliau.
“Lho, yang itu bukan jawaban ya, Bu!”
“Pertanyaan pertama.”
“Ya, namanya juga kerja sama, Bu. Gak ada kesan kerja paksa di antara kami. Toh, hubungan diplomatik kami sangatlah erat. Sangat erat banget!”
“Kerja sama boleh-boleh aja karena juga pernah Ibu alami, tapi memberikan lembar jawaban? Gak bisa Ibu terima!”
“O, jadi kalau lembar  soal yang sudah diisi, kemudian diberikan pada yang lain, gak apa-apa ya, Bu?”Yayan bertanya.
Beliau gak ngasih jawaban.
“Dan biasanya juga begini, Bu!”lanjut Yayan.
“Kalau sama Ibu, lain!”
“Lain gimana, Bu?”tanya Odor.
“Tegas!”
“Contohnya, Bu?”Hendra ikut bertanya.
“Singa!”celetuk Suka.
Sang pengawas mendengus kesal. Beliau meninggalkan Yayan dengan wajahnya yang lagi berbengong-ria.
“Bagaimana, Joel?”tanya Yayan.
“Udah, kau minta maaf aja. Maaf, Bu. Saya mau pulang aja!”usul Joelis.
“Aku kan gak salah. Emangnya aku nyontek apa?”
Kok tanya sama aku?”Joelis balik nanya.
“Aku gak mau, Joel!”
“Ya, udah!”

Situasi dan kondisi menjadi sedikit hiruk pikuk. Keadaan jadi gak karuan di mana solidaritas anak-anak mulai bangkit karena gak terima nasib temannya yang lembar jawabannya diambil pengawas. Sang pengawas pun ngerti. Keputusannya?

“Mesti diapakan dia?”beliau minta pendapat anak-anak.
“Beri lembar jawaban baru, Bu!”usul Mister.
“Baik, tapi kau ngerjainnya di sini!”ucap beliau sambil nunjuk meja guru yang tergeletak tanpa daya di sudut ruang.

Mulanya Yayan nolak karena ia gak tega nengok sang pengawas yang gak duduk dan hanya berjalan nengkene nengkono. Terus, jika dilihat dari segi etika, jelas Yayan gak sopan. Duduk di kursi guru, sedang beliau ada di depan matanya, walaupun saat ini sebagai Pengawas. Padahal kalau gak ada guru, meja tersebut sering diduduki kursinya atau bahkan mejanya. Tetapi berkenaan adanya pemaksaan dari beliau, Yayan menerimanya dengan segala kelapangan di dadanya.

Kejadian di atas, gak lain tercetus, terlahir dan terbukti sebagai buah dari perjanjian yang telah mereka buat dan sepakati di hari pertama ujian. Anak-anak gak berani untuk melanggarnya. Gitu  juga dengan Yayan. Jika dia bisa ngisi lembar jawaban, maka dengan segera ia mengamalkannya, walaupun belum semua jawaban ada di situ. Gak secuilpun di hatinya yang putih untuk menyembunyikannya.

Maka jangan heran kalau kerja sama dalam segala bentuknya, jadi pemandangan yang biasa terjadi selama ujian berlangsung di Ruang Tujuh. Entah di ruang lain. Moga aja kagak. Bentuknya dapat berupa saling ngasih lembar jawaban, lembar soal yang sudah diisi atau main lempar jawaban dalam secarik kertas. Paling sederhana adalah main mata dan kode alam.

Sekarang, Yayan tertimpa tangga.
Memang begitulah perjuangan. Penuh dengan yang namanya pengorbanan dan Yayan nyadar hingga ia menganggap, peristiwa yang dialaminya adalah wajar dan berlaku umum. Bukan suatu hal yang asing. Toh, hari ini ujian yang terakhir. Hari pamungkas.

Dan ternyata betul adanya apa kata pepatah. Lain parang lain belati. Lain orang lain hatinya. Artinya, sikap seorang guru yang begini akan lain dengan sikap seorang guru yang begitu. Betul, kan?
Walaupun duduk di kursi guru, hubungan diplomatik antara Yayan dengan teman-temannya tetap kejalin meski dengan ruang lingkup yang lebih terbatas. Lalu, apakah hubungan diplomatik takkan terjalin hanya karena tempat yang berjauhan? Tentu jawabnya kagak. Sebagai bukti, Hunter yang duduk di belakang masih bisa ngasih tahu Yayan. Ngagumin, bukan? Sekaligus ngejengkelin.

Sejurus kemudian, Guru Lab Bahasa Inggris, memasuki Ruang Tujuh. Niat beliau akan membagikan lembar pengumuman tentang pembagian raport. Tapi, ketika sepasang matanya melihat seonggok mahluk putih asyik ngerjain soal ujian di kursi guru, tergerak juga hatinya untuk bertanya.

“Kenapa?”tanya beliau sebelum bagiin kertas-kertas pengumuman.
New Teacher!”jawab sang pengawas.
Dikata begitu, Yayan berdiri. Lalu membungkukkan badanya seraya ngucapin thank you, gak ubahnya pemeran utama film Jepang berjudul My Geisha. Anak-anak bengong, pun dengan beliau-beliau. Bengong semuanya.
Setelah usai melaksanakan tugasnya, itu guru meninggalkan Ruang Tujuh dengan seonggok kebengongan dalam pikirannya. Sementara itu, anak-anak kembali pada keasyikannya masing-masing. Tetapi teman, sang pengawas masih kesal terhadap Yayan yang duduk di kursi guru itu. Pasalnya, Yayan tetap saja ngadain kerja sama. Sang pengawaspun berdiiri di depannya untuk melihat drama antara Yayan dan Iyem yang asyik masyuk main bisik. Malah pakai kerling mata.
“Tengok! Di depan Ibu, dia masih berani!”

Ups, Yayan kaget. Dengan segera ia mengalihkan tatapannya ke arah luar. Lewat jendela berterali besi, dilihatnya orang-orang yang sedang nyebrang dengan ‘getek’, rakit. Maklum, beberapa hari lalu, jembatan Sei Bingai rusak akibat kendaraan yang melintas di atasnya melebihi batas bobot yang telah ditentukan dan juga dikarenakan umur jembatan yang emang udah uzur.

Napa kau berani gitu, hah?”tanya beliau.
“Berani karena benar!”jawab Yayan kalem.
“Apanya yang benar?”
“Saya gak nyontek. Saya berbuat kebaikan.”
Lha itu, kau main mata, dengan siapa ini?”
“Iyem, Bu!”Iyem berdiri lalu menjulurkan tangan kanannya, hendak bersalaman.
“Apa-apaan ini?”beliau belum ngerti maksud Iyem.
“Iyem, Bu!”
Baru ibu itu mengerti, Iyem mau berkenalan.  Setelah salaman, Iyem duduk kembali.

“Main mata kan boleh, Bu. Lagi pula saya dengan Iyem adalah teman. Gak ada hal yang istimewa di antara kami. Sesama teman kan wajar. Yang gak wajar, jika iyem udah punya tunangan. Kalau gitu, gak bolehlah saya main mata dengannya!”
Iyem mendelik sewot denger ucapan Yayan.
“Tapi jangan di depan Ibu!”
“Oh, itu salah Ibu. Kenapa Ibu berada di depan kami!”

Sang pengawas itu, mengaku kalah. Wajahnya tampak murung.
Yayan yang melihatnya, pikirannya hanyut. Segera Yayan mengajukan permohonan maaf. Sang pengawas pun menerimanya dengan senang hati, haru dan rasa bangga. Bahkan beliau mengelus-elus kepala Yayan yang benjol. Dan idiiiiih, anak-anak lainnya pada ‘ange’, iri melihatnya. Merekapun maju serentak. Ingin dielus-elus seperti Yayan.

“Aduuuh, jangan acak-acakan gini. Antri, ya!”pinta beliau.
Anak-anak nurutin titahnya, ngebentuk antrian yang cukup panjang, layaknya antrian di tahun enam puluhan. Meski melelahkan, beliau melakoninya dengan senang hati. Layaknya seorang ibu mengelus anak kandungnya sendiri. Begitu juga dengan anak-anak. Mereka senang betul. Betul-betul senang.
Tampaknya, mereka udah lama merindukan hal tersebut untuk kembali terjadi pada diri mereka yang rata-rata berumur 17 tahun setelah untuk yang terakhir kalinya merasakan betapa nikmatnya dielus babeh dan enyak di kala usia mereka nginjak bangku sekolah. Ceritanya, mereka ingin bernostalgia.
Usai dielus, mereka kembali duduk bersama lembar soal dan lembar jawabannya lagi. Seperti sebelumnya, kerja sama tetap terjalin hingga bel tanda bubaran berteriak lantang.
*
Di luar kelas, anak-anak kelas Dua Biologi Dua membentuk barisan. Mau apa mereka? O, ternyata mereka mau merayakan kebebasan yang sifatnya sementara itu, dengan bermain kereta api.
Karbol yang anatomi tubuhnya mirip sekali dengan lokomotif, memimpin barisan tersebut. Karbol bisa pas sebagai pemeran lokomotif karena anak yang berat kotornya sekitar 82 kg itu, telah dididik di sekolah gajah Way Kambas, Lampung. Harap dimaklum, ketika dia keluar paksa dari genderang perut ibunya, Karbol dikira anak gajah karena gemuknya yang berlebih. Tetapi babehnya nyangkal. Anak itu gemuk karena keturunan dari genetik babehnya. Emaknya ngotot, babehnya ngalah. Karbolpun dibawa ke Way Kambas dengan maksud agar itu gajah, eh Karbol, gak jadi liar.

Melihat mereka berkereta api-ria, anak-anak kelas dua lainnya, mengikutinya. Bahkan anak-anak kelas satu, nekad juga masuk barisan. Padahal mereka belum ujian. Semula, para guru melarang keras anak-anak kelas satu untuk masuk dalam gerbong, tapi apa daya dari beliau-beliau. Tekad anak-anak itu gak kebendung siapapun.

“Bagaimana, Pak?”tanya wakasek kepada kepsek.
“Apanya yang bagaimana?”kepsek malah mengajukan pertanyaan.
“Itu, anak-anak kelas satu!”
“Biarlah. Merea ujian dalam gerbong kereta api aja. Dua puluh guru harus ngawasin. Ingat, jangan sampai ada yang nyontek!”.
“Siap....tapi Bapak mau ke mana?”wakasek kembali bertanya.
“Kenapa rupanya?”sekali lagi, kepsek ngajuin pertanyaan.
“Bajunya, kok dirapihin!”
“Ah, biasanya juga rapih begini!”kilah kepsek.
“Kali ini lain, Pak. Ada apa?”
“Aku juga mau ikutan berkereta api-ria....”
“Saya boleh ikut, Pak?”
“Boleh!”
“Bakal asyik punya, nich!”ucap wakasek girang.

Maka, demi yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, para guru ngadain ujian jalanan yang merupakan ujian jalanan yang pertama kali diadakan di Indonesia atau mungkin di dunia. Hebat, kan?

Sekitar 720 siswa ditambah para guru, kereta api tersebut melewati Jalan Simpang. Abang becak yang mangkal di mulut jalan, gak mau ketinggalan. Mereka nekad ninggalin becaknya, bergabung dengan para siswa.

Semula, polisi yang melihat itu barisan, menganggapnya sebagai aksi demo dan mau membubarkannya dengan gas air mata. Tapi setelah melihat beberapa guru yang sedang melakukan pengawasan ekstra ketat terhadap anak-anak kelas satu, polisi tersebut memahaminya. Alhasil, dibiarkannya kereta api tanpa cerobong itu terus melaju mulus. Bahkan selanjutnya, para polisi memberikan rasa aman dengan mengawal jalannya seluruh gerbong. Kereta apipun semakin  leluasa merambah jalanan Kota Binjai. Segala jenis kendaraan, membiarkannya lewat terlebih dahulu.

Ketika melewati kantor walikota, Pak Wali yang sedang asyik mejeng di depan kantornya, tergerak hatinya untuk berpartisipasi. Pak Walipun meluber, masuk ke dalam gerbong.
“Ah, ini baru hebat. Sejak kecil, diriku belum pernah main seperti ini!”bathin  Pak Wali.
Para pegawai yang melihat pemimpinnya bergabung, ikut masuk juga ke dalam beberapa gerbong.

Kereta api semakin panjang dengan bergabungnya anak-anak dari SMA Taman Siswa. Bahkan seluruh gurunya turut masuk ke dalam rangkaian gerbong. Gak mau jika hanya berdiri sebagai penonton.
“Ini dia kesempatan untuk beramah tamah dengan Pak Wali dan guru SMAN  1,”bisik hati seorang guru SMA Tamsis.
“Apakah kami boleh ikut, Pak?”tanya Kepsek Tamsis.
“Oh, dengan senang hati. Gak ada yang ngelarang. Silakan!”ucap wakasek yang berperan sebagai masinis.
“Betul, nich?
“Betul!”
“Apa gak ganggu siswa yang sedang ujian?”
“Ah, tidak!”

Makin lama itu kereta api makin bertambah banyak gerbongnya dan dan makin panjang. Panjang, panjang, panjang dan panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang sekaliiiiiiiiiiii.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar