Seperti yang telah dijanjikan di
hari Sabtu lalu, 23 Mei 1991, maka hari ini pun ada sumbangan. Tapi, sekarang
ini, dua orang peri dengan kotak kapur di tangannya masing-masing mengawal
beliau, sang guru yang memungut sumbangan di hari Sabtu itu. Kedua peri itu
manis-manis. Hidungnya yang mancung seperti timun muda. Dagunya yang bergayut
indah seperti tomat ranum dibelah dua. Matanya yang menatap tajam penuh pesona,
laksana terong kerdil dengan warna jernih. Dan bibirnya itu, bak cabe merah
merona. Karena bingung, Yayan memanggilnya ‘rujak’.
Begitu mereka masuk, anak-anak
langsung merogoh sakunya masing-masing. Sepertinya, senyum peri-peri yang baru
kelas satu itu, mampu menyobek saku para lelaki penghuni Ruang Tujuh.
Untuk selanjutnya, bunyi uangpun
bersahutan, beradu dengan uang-uang yang sudah masuk lebih dulu ke kotak kapur.
Bunyinya gak kalah seru dengan sebuah
acara orkesta.
Dalam alinea baru, anak-anak
terlarut dalam lembar soal dan jawabannya masing-masing. Semuanya tampak
serius. Bahkan Suka yang dituduh Roni sebagai pemeluk agama Budha, keseriusannya
tampak jelas pada kedua bulu di atas matanya yang rada-rada sipit. Lagi sibuk
rupanya.
Lain lagi dengan Karbol. Anak
berlemak banyak itu, minta cepat-cepat. Apalagi kalau bukan jawaban yang
dimintanya.
“Yan, mana? Setengah jam lagi,
nich!”
“Tenanglah, Kar. Jawabanku ada di
depan!”Yayan membulatkan kedua matanya.
“Siapa?”
“Mardiono!”jawab Yayan, “Sudah,
tenang aja. Jangan bingung dan jangan
membingungkan!”
“Justru aku sedang bingung!”
“Apanya yang bingung?”
“Nomor 12, tentang warisan!”
“Siapa situ? Jangan kerja sama,
ya!”kata sang pengawas.
Karbol gugup.
Sepi.
Ternyata, anak-anak udah punya persiapan yang betul-betul
matang untuk pelajaran yang satu ini, kecuali Karbol. Tampaknya ia gak nyiapin
segala sesuatunya dengan matang.
Dan untuk pertama kalinya,
pelanggaran terhadap perjanjian terjadi. Iyem yang duduk di depan, pulang tanpa
kesan apa-apa. Nani mengikutinya. Mahaganta pun demikian. Terus Hadi, Ozie,
Mister dan Hendra. Mereka ngelupain
anak-anak lain yang belum siap untuk bubaran, khususnya Karbol.
“Awas kalian!”bathin Yayan. Jelas
donk dia kesinggung. Soalnya, dia yang punya usul untuk bikin perjanjian dan kini mereka nginjak-nginjak.
Memandangnya sebelah mata. Padahal, kesepakatan sudah ada dalam
perjanjian. Artinya, semua yang menyepakatinya harus dan mesti melaksanakannya
dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
“Anak-anak sekarang udah gak dapat menghargai janji. Payah.
Begitu mudah mereka berjanji untuk melanggarnya. Padahal betapa besarnya orang
yang udah diberi janji menaruh
harapan pada apa yang telah dijanjikannya. Kalian gak memahami pepatah orang bijak bahwa secuil usaha lebih berharga
daripada segudang gunung janji!”bathin Yayan bertutur pedih.
Sebenarnya, bisa aja bathin itu anak gak berkata demikian. Toh, ia bisa ngerjain soal. Tapi yang ia pikirkan adalah mereka yang belum bisa
untuk bubaran. Ia gak tega untuk
bubar lebih dulu karena bagaimana mereka bisa bubar lalu ngumpulin lembar jawaban kalau yang udah selesai saling susul untuk bubaran? Apa tega nengok wajah mereka yang kuyu dan
linglung karena gak tahu pada siapa
minta jawaban? Apa tega nengok
anak-anak gak berdosa itu bubaran
dengan lembar jawaban yang belum keisi semuanya?
Apa...
Tapi apa yang terjadi?
Prakiraan Yayan salah.
Praduganya keliru.
Ternyata ada sebagian dari mereka
yang gak langsung pulang. Mereka
membantu anak-anak yang belum siap untuk bubaran yang duduk di barisan dekat
jendela. Erni, misalnya, ketika datang masuk kelas, wajahnya bermuatan bingung.
Kemudian waktu memberi sumbangan, wajahnya mencerminkan kebingungan.
Menandatangani daftar absen bingung bahkan ketika mau menyalin jawaban yang
diberikan oleh Mahaganta melalui jendela, itu anak bingung juga. Alhasil,
anak-anak yang melihatnya, ketularan
jadi ikut bingung. Benar-benar membingungkan.
Entahlah. Yang jelas di hari
ketujuh ini, penuh dengan segala kebingungan. Bingung apakah esok masuk atau
tidak. Sebenarnya gak perlu
merepotkan diri untuk berbingung ria, toh di almanak tercantum terang angka 28
dengan warnanya yang merah. Jadi jelaslah, esok itu pere. Libur. Gak usah
masuk sekolah.
Tapi permasalahannya gak semudah nyanyiin kopi Dangdut milik Fahmi Shahab yang lagi ngetop. Pasalnya, pada jadwal ujian,
tercantum bahwa tanggal 28 Mei 1991 itu masuk dengan materi yang akan diujikan adalah
pelajaran Biologi. Lalu, mana yang bener?
“Besok masuk, Dum?”tanya Yayan pada
Duma, anak Biologi Dua penghuni Ruang Enam. Yayan nyari kebenaran.
“Masuk bagi yang les!”jawab Duma
ketus.
“Les?”Yayan gak paham.
Ini kan lagi ujian, masa lesnya
sekarang? Kan membingungkan. Bahkan ada kesan nambahin kebingungan yang sudah ada.
“Les apaan?”Yayan penasaran.
“Lestarikan hutan kita”jawab Duma
sambil ngambil langkah seribu.
Kabuuuuuuuuuuuur.
Yayan ngamuk. Sambil jalan ia nendang-nendangin
kakinya. Padahal gak ada yang ia
tendang. Anak-anak dan guru-guru yang nengok
polahnya, jadi bingung. Semuanya karena sudah bingung dibuat bingung. Terang aja itu anak makin bingung dan
membingungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar