Minggu, 22 Desember 2013

TUJUH


Seperti yang telah dijanjikan di hari Sabtu lalu, 23 Mei 1991, maka hari ini pun ada sumbangan. Tapi, sekarang ini, dua orang peri dengan kotak kapur di tangannya masing-masing mengawal beliau, sang guru yang memungut sumbangan di hari Sabtu itu. Kedua peri itu manis-manis. Hidungnya yang mancung seperti timun muda. Dagunya yang bergayut indah seperti tomat ranum dibelah dua. Matanya yang menatap tajam penuh pesona, laksana terong kerdil dengan warna jernih. Dan bibirnya itu, bak cabe merah merona. Karena bingung, Yayan memanggilnya ‘rujak’.

Begitu mereka masuk, anak-anak langsung merogoh sakunya masing-masing. Sepertinya, senyum peri-peri yang baru kelas satu itu, mampu menyobek saku para lelaki penghuni Ruang Tujuh.
Untuk selanjutnya, bunyi uangpun bersahutan, beradu dengan uang-uang yang sudah masuk lebih dulu ke kotak kapur. Bunyinya gak kalah seru dengan sebuah acara orkesta.

Dalam alinea baru, anak-anak terlarut dalam lembar soal dan jawabannya masing-masing. Semuanya tampak serius. Bahkan Suka yang dituduh Roni sebagai pemeluk agama Budha, keseriusannya tampak jelas pada kedua bulu di atas matanya yang rada-rada sipit. Lagi sibuk rupanya.
Lain lagi dengan Karbol. Anak berlemak banyak itu, minta cepat-cepat. Apalagi kalau bukan jawaban yang dimintanya.

“Yan, mana? Setengah jam lagi, nich!”
“Tenanglah, Kar. Jawabanku ada di depan!”Yayan membulatkan kedua matanya.
“Siapa?”
“Mardiono!”jawab Yayan, “Sudah, tenang aja. Jangan bingung dan jangan membingungkan!”
“Justru aku sedang bingung!”
“Apanya yang bingung?”
“Nomor 12, tentang warisan!”
“Siapa situ? Jangan kerja sama, ya!”kata sang pengawas.
Karbol gugup.
Sepi.

Ternyata, anak-anak udah punya persiapan yang betul-betul matang untuk pelajaran yang satu ini, kecuali Karbol. Tampaknya ia gak nyiapin segala sesuatunya dengan matang.

Dan untuk pertama kalinya, pelanggaran terhadap perjanjian terjadi. Iyem yang duduk di depan, pulang tanpa kesan apa-apa. Nani mengikutinya. Mahaganta pun demikian. Terus Hadi, Ozie, Mister dan Hendra. Mereka ngelupain anak-anak lain yang belum siap untuk bubaran, khususnya Karbol.

“Awas kalian!”bathin Yayan. Jelas donk dia kesinggung. Soalnya, dia yang punya usul untuk bikin perjanjian dan kini mereka nginjak-nginjak.  Memandangnya sebelah mata. Padahal, kesepakatan sudah ada dalam perjanjian. Artinya, semua yang menyepakatinya harus dan mesti melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

“Anak-anak sekarang udah gak dapat menghargai janji. Payah. Begitu mudah mereka berjanji untuk melanggarnya. Padahal betapa besarnya orang yang udah diberi janji menaruh harapan pada apa yang telah dijanjikannya. Kalian gak memahami pepatah orang bijak bahwa secuil usaha lebih berharga daripada segudang gunung janji!”bathin Yayan bertutur pedih.

Sebenarnya, bisa aja bathin itu anak gak berkata demikian. Toh, ia bisa ngerjain soal. Tapi yang ia pikirkan adalah mereka yang belum bisa untuk bubaran. Ia gak tega untuk bubar lebih dulu karena bagaimana mereka bisa bubar lalu ngumpulin lembar jawaban kalau yang udah selesai saling susul untuk bubaran? Apa tega nengok wajah mereka yang kuyu dan linglung karena gak tahu pada siapa minta jawaban? Apa tega nengok anak-anak gak berdosa itu bubaran dengan lembar jawaban yang belum keisi semuanya? Apa...

Tapi apa yang terjadi?
Prakiraan Yayan salah.
Praduganya keliru.

Ternyata ada sebagian dari mereka yang gak langsung pulang. Mereka membantu anak-anak yang belum siap untuk bubaran yang duduk di barisan dekat jendela. Erni, misalnya, ketika datang masuk kelas, wajahnya bermuatan bingung. Kemudian waktu memberi sumbangan, wajahnya mencerminkan kebingungan. Menandatangani daftar absen bingung bahkan ketika mau menyalin jawaban yang diberikan oleh Mahaganta melalui jendela, itu anak bingung juga. Alhasil, anak-anak  yang melihatnya, ketularan jadi ikut bingung. Benar-benar membingungkan.

Entahlah. Yang jelas di hari ketujuh ini, penuh dengan segala kebingungan. Bingung apakah esok masuk atau tidak. Sebenarnya gak perlu merepotkan diri untuk berbingung ria, toh di almanak tercantum terang angka 28 dengan warnanya yang merah. Jadi jelaslah, esok itu pere. Libur. Gak usah masuk sekolah.
Tapi permasalahannya gak semudah nyanyiin kopi Dangdut milik Fahmi Shahab yang lagi ngetop. Pasalnya, pada jadwal ujian, tercantum bahwa tanggal 28 Mei 1991 itu masuk dengan materi yang akan diujikan adalah pelajaran Biologi. Lalu, mana yang bener?

“Besok masuk, Dum?”tanya Yayan pada Duma, anak Biologi Dua penghuni Ruang Enam. Yayan nyari kebenaran.
“Masuk bagi yang les!”jawab Duma ketus.
“Les?”Yayan gak paham.
Ini kan lagi ujian, masa lesnya sekarang? Kan membingungkan. Bahkan ada kesan nambahin kebingungan yang sudah ada.
“Les apaan?”Yayan penasaran.
“Lestarikan hutan kita”jawab Duma sambil ngambil langkah seribu. Kabuuuuuuuuuuuur.

Yayan ngamuk. Sambil jalan ia nendang-nendangin kakinya. Padahal gak ada yang ia tendang. Anak-anak dan guru-guru yang nengok polahnya, jadi bingung. Semuanya karena sudah bingung dibuat bingung. Terang aja itu anak makin bingung dan membingungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar