Memasuki hari kedua, anak-anak rada malas.
Maklum, mereka gak mau
mati-matian. Makanya, meski jam di ruang guru sudah nembak angka delapan, yang datang baru satu ekor, itupun cuma
ekornya aja. Namun berkat seorang
Pahlawan Tak Dikenal dan Tanpa Tanda Jasa, anak-anak mau juga diajak masuk.
Sang guru menemukan mereka sedang asyik memancing di Sei Bingai. Objekannya,
ternyata sepasang aki dan nini yang sedang kerja sama nyebokin
cucunya. Harap dimaklum, mereka gak kenal
menu.
“Ayo masuk...masuk....kalen kan mesti ujian. Apa bisa, apa
mungkin dengan memancing ikan, kalian bisa naik? Bisa ya bisa, tapi ya itu,
naik pohon kelapa!”perintah sang pengawas.
“Gak lucu!!!”celetuk dari belakang.
“Biaaaar....Toh bapak bukan
pelawak, kok!!”
“Tap...tapi, Pak!”Santi Imelda sok akrab.
“Mungkin aja kami-Kami ini naik, walo
hanya mancing aja. Bapak saya kan
seorang, bukan dua orang, hakim. Jadi, kalo
wali kelas gak naikin kami-kami, saya
akan lapor!”cerocos itu anak yang lebih suka dipanggil Imelda daripada
dipanggil Santi.
Inginnya demikian karena ia ngaku ada hubungan dengan Imelda, istri
terguling dari Philiphina, Ferdinand Marcos. Walaupun hubungan itu bukan
hubungan diplomatik apalagi hubungan dua negara antara Indonesia dan
Philiphina. Kebetulan, katanya.
Waktu istri presiden terguling
itu berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Binjai, mereka jumpa di Pajak Bawah.
Ee, bekas Ratu Philiphina itu sedang memilah dan memilih daun sirih. Katanya
buat sang nenek dari anaknya. Ya, terang aja
Santi Imelda ikut-ikutan bahkan membantunya memilihkan daun sirih yang
berkualitas tinggi.
Perlu diketahui, Santi Imelda
adalah siswi jagoan dalam bidang sirih menyirih. Soalnya, karena daun sirih,
itu anak keluar jadi juara dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja Se-RT. Judul
karyanya, “Manfaat Daun Sirih Dalam Peperangan.”
Santi pun merasa bangga dengan
apa yang telah dilakukannya di kala itu. Meski ia sekarang agak sedih juga
karena wanita itu kini hanya bekas istri presiden, terguling lagi, tapi Santi
tetap bangga karena ia menganggap bahwa apa yang telah dilakukannya adalah
suatu kehormatan yang tiada nilainya.
Bayangin aja, di usianya yang masih kegolong muda, ia udah
bisa bantu seorang istri presiden. Santi menulis peristiwa itu dengan tinta
emas milik bapaknya di dalam buku hariannya yang bersampul kulit milik almarhum
ibunya. Agar selalu ingat dan tidak terlupakan, Santi, eh Imelda sering
membacanya sebelum bobo.
Nah, begitulah cerita tentang
Santi yang lebih suka diada-ada dengan nama Imelda. Benar tidaknya cerita itu,
hanya Santi, eh maaf, Imelda yang tahu. Tapi katanya, buku harian itu udah hilang kebawa banjir. So,
masalah buat loe?
*
Dengan kemalasan sekitar 20°C
dan dinginnya udara pagi itu sekitar amat sangat, eh kebalik. Seharusnya, dengan kemalasan yang amat sangat dan
dinginnya udara pagi itu sekitar 20° C (emang segitu kok janji
Mbah Bejo di Rabu lalu tentang ramalan cuacanya), anak-anak merapatkan
pantatnya di kursinya masing-masing.
Mati-matian itu emang beneran adanya. Joelis yang duduk bareng Yayan dan Roni, mati-matian
dalam ngambil buku mati-matiannya
yang ada di dalam laci. Ia pangjangin
tangan kanannya. Dirabanya, “Nah, ini dia. Oh bukan, habis bentuknya ibarat
SCUD!”bathin Joelis.
Joelis beraksi kembali...
Tapi sayang....
“Hei, ngapain kau?”tanya sang pengawas galak dengan logat Bataknya yang
kental.
Joelis membisu.
“Mau nyontek ya?”
“Anu, Pak,,,,pena saya masuk
laci. Tadi, ketika saya main pena itu, eee secara sengaja masuk laci.”jelas
sekali bahwa cerita itu anak bohong besar alias ngibul.
“Ooooh...”sang pengawas enteng
saja mempercayainya yang gak lain
karena Joelis dikenal sebagai seorang anak yang terpercaya di lingkungan
sekolahnya. Entah kalau di luar sekolah. Setiap omongannya, pasti....bohong.
Dengan jawaban sang guru yang
seolah-olah merestui, Joelis bungah bukan
main. Penuh semangat ia buka lembar demi lembar dengan sangat hati-hati. Saking
hati-hatinya, bulu ayam yang nempel di bukunya gak ke-usik sikitpun.
“Yan, yang mana?”tanya Joelis
pada Yayan.
“Buka terus...ini, nich nomor
lima. Menurut sepatu Wariorku, soal ini sama dengan yang ada di catatan,”ujar
Yayan.
“Sekalian nomor ane punya tanggal lahir, satu. Menurut
keriting rambut ane, soalnya serupa
dengan yang ada di buku,”tambah Roni.
Joelis bergerak cepat, mencari
apa yang disebutkan oleh kedua temannya. Tapi, NOL.
“Buka terus. Siapa tahu kelewat,”ujar Yayan.
Joelis kembali buka bukunya.
Hasilnya? Tetap NOL.
“Gak adapun!”ujar Joelis lirih.
“Sini bukunya!”pinta Yayan.
Joelis memberikan bukunya.
“Ya gak ada atuh, ini mah buku novel,”ucap Yayan.
“Eh, sorry,”ujar Joelis.
Detik demi detik berlalu. Menit
demi menit gak mau ketinggalan untuk saling berganti.
Anak-anakpun kalang kabut. Yang udah
bisa ngejawab soal, sibuk ke sana
mari ngasih jawaban pada temannya.
Yang gak bisa ngejawab soal juga sibuk ke sana mari minta belas kasih, iba dan
solidaritas dari mereka yang udah
bisa ngejawab soal, meminta jawaban.
Alhamdulillah, begitu bel
bernyanyi, anak-anak udah pada kelar. Ternyata gak sia-sia sebuah perjanjian diadakan.
Menghadapi pelajaran kedua,
Pendidikan Jasmani, anak-anak berolahraga terlebih dahulu barang semenit or two minute. Mereka mesti kuat fisik
untuk menghadapi pelajaran yang satu ini. Mereka harus siap untuk ngadepin soal-soal yang akan membuat
otak mereka jungkir balik, berputar-putar nyari
jawaban. Tendang kanan sepak kiri. Tendang depan, sepak belakang. Minta
jawaban.
Lemparan ke dalam, nangkap bola karena takut gol. Artinya
memberi dan menerima jawaban. Walopun
dalam ujian dan tetap duduk, tapi anak-anak layaknya sedang berolah raga.
Apalagi Karbol. Anak gajah ini begitu antusias sehingga keringat kecil dan
besar, saling berebut untuk berurbanisasi keluar memprovokasi kulitnya. Dan seperti usai bel pertama, di bel
keduapun anak-anak meninggalkan Ruang Tujuh dengan hati senang. Gak peduli dengan kaki dan tangan yang
pegal. Cuek bebek dengan mandi
keringat.