Minggu, 22 Desember 2013

TIGA


Hari kedua lewat, datang gantinya, hari ketiga.
Hari ini, Pelajaran Sejarah. Anak-anak menyambutnya dengan suka cita. Ya, anak-anak udah membuat suatu ramalan bahwa Perang Teluk yang ramai dibicarakan orang dan menjadi berita utama berbagai media massa, akan masuk dalam ujian kali ini. Bahkan sangat besar kemungkinannya untuk bersifat dominan terhadap seluruh isi soal. Efeknya, anak-anak udah siap dengan segala hafalan tentang segala sesuatu yang ada kena-mengenanya dengan Perang Teluk walaupun keterkanaannya kecil adanya.

Mulai dari kehidupan pemimpin Irak dan Amerika sampai bagaimana polah Peter  Arnett dapat izin untuk meliput itu perang atas nama CNN. Mulai dari kapal penyapu ranjau sampai kapal induk-indukan. Mulai dari F-16 ampe pesawat Hercules.
Mulai dari bersiap-siap untu perang pelor yang ukurannya kecil sampai Rudal Scud. Kopral Irak yang gugur sampai perwira tinggi Amerika yang tewas. Makanan, minuman, jadwal olah raga hingga mandi dan tidurnya prajurit kedua belah pihak bahkan jadwal piket pun udah anak-anak kuasai di luar kepala.

Tapi agak kecewa juga anak-anak karena Pelajaran Sejarah muncul setelah Pelajaran Bahasa Indonesia. Akibatnya, semangat anak-anak hilang. Rupanya, terjadi kriminalisasi, ada oknum yang bikin jadwal gak bener.
Kecewanya anak-anak dapat dilihat pada Yayan. Meski Bahasa Indonesia adalah pelajaran favoritnya, tapi ini kali dia lesu bagai kekurangan darah. Malas. Kemudian kenakalannya kumat. Tip ex yang dipinjamnya dari Ellis, ia pakai aksi coret-coret. Sandaran kursi di depannya, jadi sasarannya. Di situ ia menulis sebait “Padamu Jua”.

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa.

Yayan tersenyum bangga. 

Karena rasa malas itu, Nando nekad neken daftar absen dalam dua nama. Alhasil ia kena semprot sang pengawas yang berkaca mata.
“Kenapa kau tanda tangan dalam dua nama?”tanya sang pengawas.
“Sa.....saya kan keturunan Sembara, kekasihnya Farida dan cucunya Nyai Renggana”.
“Siapa mereka?”sang pengawas terus bertanya.
“Musuhnya Mak Lampir yang punya Ilmu Pelepas Sukma,”jawab Nando enteng.
“Siapa Mak Lampir itu?”sang pengawas bertanya kembali.
“Masa Bapak tidak tahu?Dia kan main dalam sandiwara radio,”tanggap Nando.
“Oh ya, sekarang bapak ingat, Misteri dari Gunung Merapi, kan?”tanya sang pengawas meminta kepastian.
“Betul, Pak!”jawan Nando mantap.
“Apa hubungannya dengan kau?”tanya sang pengawas dengan sedikit membulatkan matanya.
“Saya kan bisa duduk di dua kursi. Di kursi depan atau di kursi saya sendiri, secara bersamaan. Satu dengan jasad saya dan satunya lagi dengan sukma saya. Lewat jurus Pelepas Sukma,”terang Nando.
“Buktikan!!!!”suara sang pengawas meninggi.
Nando gelagapan. Tapi berhubung otaknya bukan Otak Udang, itu anak membuktikan teorinya. Pertama dia duduk di kursinya lalu duduk di kursi depan yang memang kosong. Usai memperagakan jurus Pelepas Sukma, Nando menghampiri sang guru sambil tepuk-tepuk tangan melepas debu, kemudian berujar pelan, “Beres, Pak.”
“Kau bohong, itu tidak bersamaan!”sang pengawas protes.
“Lho, itu kan bersamaan, Pak,”Nando gak mau ngalah.
“Alasannya?”sang pengawas penasaran.
Kejadiannya sama-sama terjadi pada diri saya. Kejadiannya sama-sama di hari ini. Kejadiannya sama-sama di ruang ini, Ruang Tujuh,”jelas Nando dengan retorika.
Ya, daripada berkesinambungan, sang guru mengalah dan mau menerima argumen yang diterangkan Nando.
“Tapi daftar absen ini harus kau betulkan!”titah sang pengawas.
“Ya, Pak,”ucap Nando.
Dipinjamnya tip ex punya Heffi yang duduk persis di belakangnya.
Cret. Cret. Cret.
Sang guru memperhatikan tingkah Nando.
Sejurus kemudian, Nando menutup tip ex.
Siiiplah.
“Ini, Pak,”Nando memberikan daftar absen dengan tangan kidalnya. Terang aja sang pengawas marah besar.
Emangnya aku ini jongos kau?”tanya sang pengawas dengan nada keras.
Nando kalem.
“Itu terserah Bapak. Kalau sekiranya Bapak mau dipanggil guru, saya akan panggil demikian. Tapi kalau Bapak mau dan meminta saya untuk dipanggil layaknya seorang jongos, saya mah hanya setuju aja atuh. Untuk itu, saya nyaranin agar ditentukan terlebih dahulu panggilan yang Bapak kehendaki sebelum Bapak menjadi guru. Selanjutnya umumkan, tapi sekarang mah udah telat karena...”Nando gak berani nerusin omongannya. Pasalnya, mata sang guru itu....ih ngeri...
“Sudah?”tanya sang pengawas.
Nando diam.
“Sudah?”sang pengawas meminta jawaban, bukan kebisuan.
Nando mengangguk, “Sudah, Pak”.
“Kau harus tahu...”

Sebelum sang pengawas berbicara panjang lebar, “Sudahlah, Pak,”Nando memotongnya.
“Jangan marah gitu donk, Pak. Permen atau coklat, Pak?”bujuk Nando.
“Oh, mau...mau. Dua-duanya!!”seru sang pengawas berbinar-binar.
Nando cemberut. Habis yang diajukan dua pilihan, tapi yang dipilih dua-duanya. Teganya sang guru.
Usai drama pendek, Nando duduk diiringi pujian dari sang pengawas.

“Nah, dia baru anak Bapak. Murid yang baik dan anak yang baik pula. Mau membahagiakan orang tuanya yang memberinya ilmu di sekolah ini!”puji sang pengawas.
Hidung Nando melambung ingin terbang. Begitu juga dengan kupingnya yang kalau gak ditahan oleh Heffi, niscaya udah ngapung ke angkasa.
“Trims...”ujar Nando pada Heffi.
“Alhamdulillah...”seru Mister yang duduk di samping Nando.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar