Minggu, 22 Desember 2013

DUA


Memasuki hari kedua, anak-anak rada malas.

Maklum, mereka gak mau mati-matian. Makanya, meski jam di ruang guru sudah nembak angka delapan, yang datang baru satu ekor, itupun cuma ekornya aja. Namun berkat seorang Pahlawan Tak Dikenal dan Tanpa Tanda Jasa, anak-anak mau juga diajak masuk. Sang guru menemukan mereka sedang asyik memancing di Sei Bingai. Objekannya, ternyata sepasang aki dan nini yang sedang kerja sama nyebokin cucunya. Harap dimaklum, mereka gak kenal menu.

“Ayo masuk...masuk....kalen kan mesti ujian. Apa bisa, apa mungkin dengan memancing ikan, kalian bisa naik? Bisa ya bisa, tapi ya itu, naik pohon kelapa!”perintah sang pengawas.
Gak lucu!!!”celetuk dari belakang.
“Biaaaar....Toh bapak bukan pelawak, kok!!”
“Tap...tapi, Pak!”Santi Imelda sok akrab.

“Mungkin aja kami-Kami ini naik, walo hanya mancing aja. Bapak saya kan seorang, bukan dua orang, hakim. Jadi, kalo wali kelas gak naikin kami-kami, saya akan lapor!”cerocos itu anak yang lebih suka dipanggil Imelda daripada dipanggil Santi.

Inginnya demikian karena ia ngaku ada hubungan dengan Imelda, istri terguling dari Philiphina, Ferdinand Marcos. Walaupun hubungan itu bukan hubungan diplomatik apalagi hubungan dua negara antara Indonesia dan Philiphina. Kebetulan, katanya.
Waktu istri presiden terguling itu berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Binjai, mereka jumpa di Pajak Bawah. Ee, bekas Ratu Philiphina itu sedang memilah dan memilih daun sirih. Katanya buat sang nenek dari anaknya. Ya, terang aja Santi Imelda ikut-ikutan bahkan membantunya memilihkan daun sirih yang berkualitas tinggi.

Perlu diketahui, Santi Imelda adalah siswi jagoan dalam bidang sirih menyirih. Soalnya, karena daun sirih, itu anak keluar jadi juara dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja Se-RT. Judul karyanya, “Manfaat Daun Sirih Dalam Peperangan.”
Santi pun merasa bangga dengan apa yang telah dilakukannya di kala itu. Meski ia sekarang agak sedih juga karena wanita itu kini hanya bekas istri presiden, terguling lagi, tapi Santi tetap bangga karena ia menganggap bahwa apa yang telah dilakukannya adalah suatu kehormatan yang tiada nilainya.

Bayangin aja, di usianya yang masih kegolong muda, ia udah bisa bantu seorang istri presiden. Santi menulis peristiwa itu dengan tinta emas milik bapaknya di dalam buku hariannya yang bersampul kulit milik almarhum ibunya. Agar selalu ingat dan tidak terlupakan, Santi, eh Imelda sering membacanya sebelum bobo.

Nah, begitulah cerita tentang Santi yang lebih suka diada-ada dengan nama Imelda. Benar tidaknya cerita itu, hanya Santi, eh maaf, Imelda yang tahu. Tapi katanya, buku harian itu udah hilang kebawa banjir. So, masalah buat loe?
*
Dengan kemalasan sekitar 20°C dan dinginnya udara pagi itu sekitar amat sangat, eh kebalik. Seharusnya, dengan kemalasan yang amat sangat dan dinginnya udara pagi itu sekitar 20° C (emang segitu kok janji Mbah Bejo di Rabu lalu tentang ramalan cuacanya), anak-anak merapatkan pantatnya di kursinya masing-masing.

Mati-matian itu emang beneran adanya. Joelis yang duduk bareng Yayan dan Roni, mati-matian dalam ngambil buku mati-matiannya yang ada di dalam laci. Ia pangjangin tangan kanannya. Dirabanya, “Nah, ini dia. Oh bukan, habis bentuknya ibarat SCUD!”bathin Joelis.

Joelis beraksi kembali...
Tapi sayang....
“Hei, ngapain kau?”tanya sang pengawas galak dengan logat Bataknya yang kental.
Joelis membisu.
“Mau nyontek ya?”
“Anu, Pak,,,,pena saya masuk laci. Tadi, ketika saya main pena itu, eee secara sengaja masuk laci.”jelas sekali bahwa cerita itu anak bohong besar alias ngibul.
“Ooooh...”sang pengawas enteng saja mempercayainya yang gak lain karena Joelis dikenal sebagai seorang anak yang terpercaya di lingkungan sekolahnya.  Entah kalau di luar sekolah. Setiap omongannya, pasti....bohong.
Dengan jawaban sang guru yang seolah-olah merestui, Joelis bungah bukan main. Penuh semangat ia buka lembar demi lembar dengan sangat hati-hati. Saking hati-hatinya, bulu ayam yang nempel di bukunya gak ke-usik sikitpun.

“Yan, yang mana?”tanya Joelis pada Yayan.
“Buka terus...ini, nich nomor lima. Menurut sepatu Wariorku, soal ini sama dengan yang ada di catatan,”ujar Yayan.
“Sekalian nomor ane punya tanggal lahir, satu. Menurut keriting rambut ane, soalnya serupa dengan yang ada di buku,”tambah Roni.
Joelis bergerak cepat, mencari apa yang disebutkan oleh kedua temannya. Tapi, NOL.
“Buka terus. Siapa tahu kelewat,”ujar Yayan.
Joelis kembali buka bukunya. Hasilnya? Tetap NOL.
Gak adapun!”ujar Joelis lirih.
“Sini bukunya!”pinta Yayan.
Joelis memberikan bukunya.
“Ya gak ada atuh, ini mah buku novel,”ucap Yayan.
“Eh, sorry,”ujar Joelis.

Detik demi detik berlalu. Menit demi menit gak mau ketinggalan untuk saling berganti. Anak-anakpun kalang kabut. Yang udah bisa ngejawab soal, sibuk ke sana mari ngasih jawaban pada temannya. Yang gak bisa ngejawab soal juga sibuk ke sana mari minta belas kasih, iba dan solidaritas dari mereka yang udah bisa ngejawab soal, meminta jawaban.

Alhamdulillah, begitu bel bernyanyi, anak-anak udah pada kelar. Ternyata gak sia-sia sebuah perjanjian diadakan.

Menghadapi pelajaran kedua, Pendidikan Jasmani, anak-anak berolahraga terlebih dahulu barang semenit or two minute. Mereka mesti kuat fisik untuk menghadapi pelajaran yang satu ini. Mereka harus siap untuk ngadepin soal-soal yang akan membuat otak mereka jungkir balik, berputar-putar nyari jawaban. Tendang kanan sepak kiri. Tendang depan, sepak belakang. Minta jawaban.

Lemparan ke dalam, nangkap bola karena takut gol. Artinya memberi dan menerima jawaban. Walopun dalam ujian dan tetap duduk, tapi anak-anak layaknya sedang berolah raga. Apalagi Karbol. Anak gajah ini begitu antusias sehingga keringat kecil dan besar, saling berebut untuk berurbanisasi keluar memprovokasi kulitnya. Dan seperti usai bel pertama, di bel keduapun anak-anak meninggalkan Ruang Tujuh dengan hati senang. Gak peduli dengan kaki dan tangan yang pegal. Cuek bebek dengan mandi keringat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar