“Wah, bagaimana ini? Ini hari,
Pelajaran Bahasa Inggris. Bisa bantu aku, Zie?”tanya Mahaganta. Emang ini anak kalau udah harus berhadapan dengan pelajaran
tersebut, pasti bingung dan membingungkan. Bahkan bila kebingungannya melebihi
dosis, anak mama ini suka pingsan sendiri.
Sebenarnya dia itu gak bodoh-bodoh amat dengan pelajaran
yang satu ini karena dia udah
berusaha keras untuk menguasainya, tapi ada daya. Maksud hati ingin memeluk
Gunung Galunggung, tapi yang terpeluk malah Gunung Sinabung. Maksud hati ingin
menguasai bahasa bule, tapi yang terkuasai malah bahasa sendiri. Tapi kalau
dipikir, dia masih menang sedikit dibanding seekor panda yang lahir dan gede di
China, tapi gak pandai Bahasa China.
“Kau kan les di Bima?”Ozie balik
bertanya.
“Ah, kau memang punya kuping
aneh. Dibuka bisa, eee nutupnya kagak
bisa. Masuk kuping kiri, keluar lewat jempol kaki kanan. Contoh diriku, nih!
Aku! Kalau gak bisa, jelas aku gak tahu!”ucap Hadi bangga. Bahkan ia
membusungkan dadanya dengan mengangkat kepalanya lalu nekad menepuk dadanya dan
tak urung berbatuk-ria layaknya aki-aki
yang gak beruban.
“U huk, u huk, u huk.”
“Hahaha,”anak-anak berhaha-ria.
“Bukan itu masalahnya. Di Bima,
yang ngomong, semuanya orang-orang
wayang. Entah itu wayang orang,
wayang golek, wayang kulit atau wayang-wayangan. Misalnya, Semar, Petruk,
Gareng, Cepot, Dewi Suhita, Kamajaya, Ratih...”
“Ih, banyak sekali tentornya”Odor kaget.
“Belum selesai, nih”ujar
Mahaganta.
“Terusnya?”Nani sok nanggapin.
“Nah, omongan mereka itu gak bisa
kumengerti sikitpun. Apalagi kalau
yang ngomong adalah pemimpinnya. Uh, aku tambah gak paham. Bingung!”ucap Mahaganta.
“Siapa?”Nani penasaran.
“Bima. Habis, suaranya bergemuruh
kayak guntur,”jelas Mahaganta.
“Kok bisa gitu?”Nani bertanya
lagi.
“Sejak pelajaran dimulai ampe habis, mereka kalau ngomong pakai Bahasa Jawa. Jelas donk aku yang gak bisa Bahasa Inggris dan untuk bisa menguasainya, susah setengah
hidup. Masuk gak bisa, eee keluar
makin gak bisa. Padahal duit yang
keluar cukup gede,”tanpa disadari
bola kristalnya jatuh atu-atu,
membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
Ozie terharu.
Hadi terpana.
Odor dan Nani terhanyut
pikirannya.
Elis, Iyem dan Imelda ikut-ikutan
nitikin air matanya.
Suka yang dari tadi hanya menjadi
pendengar setia, gak mau tinggal
diam. “Udah, kau tenang-tenang ajalah. Aku bawa ini, nich!”itu anak nunjukin kamusnya yang tebal.
Mahaganta sedikit terhibur. Ia
menghentikan tangisnya.
Anak-anakpun sepakat, mutusin Suka sebagai penerjemah dan
upacara ala adat keraton diadakan
meski hanya beberapa menit.
Tapi setelah sang pengawas yang
memakai peci masuk, anak-anak agak cemas. Gak
lain karena beliau gak mau ada
segala jenis buku dan kamus yang disimpan di laci. Semuanya harus disimpan di
depan. Di meja guru.
Anak-anak menolak.
Beliau memaksa.
Anak-anak ngotot.
Maka demi keamanan yang langgeng
agar ujian berjalan lancar tanpa kendala apapun, Hendra memutuskan untuk main
adu panco dan menang. Alhasil anak-anak batal untuk nyimpan buku-bukunya di depan. Termasuk Suka. Kamusnya tetap di
tangannya.
Detik berlalu. Menit tiba.
Anak-anak kelabakan.
“Suka, mana? Awas!! Kukutuk kau jadi
Saddam!!”ancam Mahaganta yang duduk di baris kedua. Suka bukannya mendengarkan,
ia malah melebarkan daun kupingnya. Melihat itu, Roni memperjelas apa yang
diomongkan oleh Mahaganta.
“O, kebetulan!!! Gini-gini juga
aku pengagum dia!”ucap Suka.
“Aku dua rius!”rengek Mahaganta.
“Aku dua rius setengah!”Suka gak mau kalah.
“Jadi, mana jawabannya? Bagi-bagi
donk!!!”
“Aku gak bisa, Ron!”
“Gunanya kamus tebal itu?”tanya
Hunter yang mulai curiga. Abis, dari
tadi Suka sepertinya gak berbuat
apa-apa, selain bernafas. Jangankan gerakin
penanya untuk dansa di atas lembar jawaban, nyentuh
soalpun gak dilakoni.
“Buat bantal!”jawab Suka kalem.
“Maaaaak!”jerit Odor.
Karena yang dijadikan penerjemah gak berbuat seperti apa yang
dijanjikannya dan diharapkan anak-anak, penghuni Ruang Tujuh nekad. Setiap
soal, mereka jawab dengan tiga kata. Kagak
lebih, kagak kurang. Apa? Ini dia,
Was wis wus.
Was wis wus.
Ehemmm!!!!
Aya-aya wae.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar