Kenakalan anak-anak kumat deui di hari kelima ini. Jarum pendek udah nginjak angka
sepuluh, tapi yang datang baru beberapa anak. Alhasil sang pengawas menyusulnya
ke Sei Bingai. Kok bisa tahu? Karena
diberi tahu pengawas sebelumnya.
Di depan anak-anak, sang pengawas
berpantun ria:
Baiklah
baik berlayar rakit
Janganlah
sampai putus talinya
Kasih
sayangku bukan sedikit
Jikalau
boleh mati bersama
Lama kita takkan bertemu
Alangkah sedih rasa hatiku
Sebutlah namaku dalam mimpimu
Daku kan selalu digoda rindu
Walaupun
jauh sebrang lautan
Daku
sepi menyendiri
Meskipun
surat dikau kirimkan
Seperti
dikau datang sendiri
Anak-anak terlena. Kepala mereka
pusing. Matanya berkunang-kunang dan jalannya mulai limbung. Pandangannya
terasa gelap. Sejurus kemudian, mereka seperti terhipnotis. Dengan lenggang
mentimun mereka berjalan beriringan layaknya bebek cuek menuju sekolah, masuk ke Ruang Tujuh.
Anak-anak berbuat nakal karena
pelajaran yang akan dihadapi kali ini adalah pelajaran susah bin sukar dan seram bin ngeri. Bayangkan aja,
baru nengok rumus E=mc²,
bulu kuduk mereka langsung tegak. Terbayang Albert Einstein sepupu jauh babehnya Anes. Kemudian Nagasaki dan
Hiroshima, kota di mana saudara jauh enyaknya
Manto lahir. Nuklir yang sering dikeluarkan Hendra dan pada akhirnya kuburan
massal dekat simpang tugu perjuangan yang dipelihara ipar jauh saudaranya
Joelis. Gak pelak deui, kalo belajar Fisika, pikiran anak-anak arahnya selalu ke sana.
Tapi sang pengawas membujuknya.
“Sudahlah, kalen kerjakan itu Fisika. Fisika itu mudah, kok. Mudah. Mudah sekali. Tengok aja Indonesia, bisa rebut Irian Barat. Tengok tentara sekutu,
begitu mudahnya merebut Kuwait yang jelas-jelas bukan bagian dari negara mereka!”ucap
sang pengawas. (Lho, apa
hubungannya?).
“Mudah? Mudah bagi Heffi yang
pakai kacamata!”gerutu Karbol. Ini anak emang
melihat seseorang pintar atau kagak
berdasarkan ada atau tidaknya kacamata di wajahnya. Menurut itu anak, anak-anak
pintar gara-gara pake kacamata.
Padahal belum tentu anak yang pake kacamata
lebih pintar daripada anak yang gak pake
kacamata.
Lain lagi dengan Yayan. Ia
menyangkal pernyataan sang pengawas dengan bathinnya. Baginya, pernyataan sang
pengawas gak bener 100%. Yayan
bertip-ex ria di bagian belakang sandaran kursi yang dikuasai oleh Mardiono.
Bumi ditepuk
Langit ditampar
Aku tak percaya
lagi
Namun demi hutang yang belum
dibayar pada Bang Min, anak-anak akhirnya mau juga ngerjainnya. Ada yang hanya nengok-nengok
lembar soal. Ada juga yang ngigit penanya.
Mungkin lapar berat. Ada juga yang ngeraba-raba
jenggotnya yang tumbuh beberapa helai dengan alasan biar tampak sedang berpikir
keras. Ada juga yang ngelamun dan entah apa yang dilamunkannya. Pikirannya
jauh menerawang ke mana-mana, walaupun perhatiannya seperti tertuju pada lembar
soal. Mungkin ....
“Aduh, aku nanti Jum’atan di
mana? Jam setengah dua belas, ntar nyanyi
bel jelek itu. Nanti terlambat gak
ya? Ah, aku pulang aja. Mudah-mudahan
gak telat!”ini jelas lamunan Manto yang dikenal karena kealimannya.
Dari situ tampak bahwa itu anak
dan anak lainnya juga, hanya menunggu nasib untuk berpihak kepadanya. Menunggu
pemberian dari temannya. Hari pertama kan udah
janjian untuk saling tolong. Tapi Domen kegerahan jika harus nunggu, nunggu dan nunggu. Ia
mencoba untuk lebih agresif. Dibuatnya tulisan dalam secarik kertas, lalu
dilemparkannya kepada Yayan yang tampaknya sedang berpikir keras.
Yayan yang sedang mikirin uangnya yang raib ketika naik
bis Pembangunan Semesta waktu berangkat ke sekolah, kaget. Dikiranya itu
Patriot yang diluncurkan pihak sekutu. Tapi ia masih bisa berpikir jernih. Itu
bukan Patriot, melainkan Scud.
“Yan, Tolong Aku. Nomor 3 dan
7!!”
Yayan ngangkat mukanya. Dilihatnya anak malang yang duduk di depan
Mardiono itu. Merasa dilihat, Domen nengok
ke belakang, lalu tersenyum penuh iba.
Minta segera ditolong. Yayan segera bertindak. Diberikannya kertas tersebut
pada Mardiono untuk kemudian diestafetkan
pada Domen.
Menerima kertas tersebut, Domen
tersenyum senang. Dibukanya kertas itu dengan hari-hati agar sang pengawas gak melihat aksinya. Ya, ampyuuuuun. Yang ada hanya angka 3 dan
7. Lain itu, kagak.
“Yan, mana?”tanya Domen.
“Kau kan minta nomor 3 dan
7?”jawab Yayan nyante.
“Ya, mana?”Domen sedikit gusar.
“Lha, itu!”jawab Yayan.
“Ini kan hanya angka 3 dan
7?”Domen bertanya kembali.
“Jadi model angka seperti apa
yang kau mau?”Yayan malah balik bertanya.
“Kampret!!!!”Domen menggerutu.
Yayan nyengir mirip kuda. Gitu juga dengan Anes. Ia nyengir mirip Kuda Nil. Sedangkan Mardiono nyengirnya mirip Zebra. Nyengirnya
Joelis mirip Kuda-Kudaan. Emang
empat orang anak itu, dalam hal cengar-cengir
ketahuan jagonya. Gak mau kalah dengan kuda yang banyak nyengirnya
daripada meringkik.
Benar juga apa kata pepatah,
sepandai-pandainya Maradona main bola, toh
akan salah juga. Walaupun kesalahannya itu bisa dikategorikan sebagai
kesalahan yang ringan. Nah, begitu pula dengan Nani. Konon Nani adalah anak
yang kecerdasannya seabrek. Saking
cerdasnya, itu anak gak tahu hari kelima itu tanggal berapa dan karena
kecerdasannya pula, Nani lupa kartu ujiannya.
Lalu apa hubungannya dengan
pepatah itu? Ternyata Nani menemukan jalan buntu dalam ngerjain Fisika. Wajar karena anak yang lainnya juga demikian.
Hanya Nani terlambat dalam menemukan jalan buntunya karena pakai acara keliling
Kota Binjai. Nah, untuk menembus jalan yang buntu itu, Nani berusaha mencari
informasi dan Odor yang duduk di belakangnya, gak nolak untuk ngasih kopean.
“A i u e o!”Odor berujar dalam
bisik-bisik.
“Apa?”tanya Nani.
“A b c d!”ulang Odor.
“Aku gak denger. Keraslah dikit!”pinta
Nani.
“Ah, udahlah. Kau ambil aja
lembar jawabanku!”usul Odor.
“Ok!”sambut Nani.
Manakala sang pengawas sedang
memeriksa sesuatu, entah apa, Nani gak
nyia-nyiain kesempatannya untuk menerima lembar jawaban Odor. (Perlu
diingat, kesempatan itu layaknya embun di pagi hari. Jangan berharap dapat
meraih embun bila pagi telah pergi. Maka, janganlah kesempatan dibiarkan
berlalu begitu aja). Sambil mata
tertuju tajam kepada sang pengawas, Nani menjulurkan tangannya untuk meraih
kertas dari Odor. Apa daya, ketika lembar jawaban Odor akan diletakkan di
mejanya, sang pengawas melihatnya.
Spontan itu anak ngembaliin.
“Napa dibalikin?”tanya sang pengawas.
Nani gak bicara.
“Nyalinnya udah? Cepat kali
kau!”ucap sang pengawas.
“Hahaha!”tawa anak-anak renyah.
“Sialan!”gumam Nani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar