Minggu, 22 Desember 2013

LIMA


Kenakalan anak-anak kumat deui di hari kelima ini. Jarum pendek udah nginjak angka sepuluh, tapi yang datang baru beberapa anak. Alhasil sang pengawas menyusulnya ke Sei Bingai. Kok bisa tahu? Karena diberi tahu pengawas sebelumnya.

Di depan anak-anak, sang pengawas berpantun ria:

                Baiklah baik berlayar rakit
                Janganlah sampai putus talinya
                Kasih sayangku bukan sedikit
                Jikalau boleh mati bersama

Lama kita takkan bertemu
Alangkah sedih rasa hatiku
Sebutlah namaku dalam mimpimu
Daku kan selalu digoda rindu

                Walaupun jauh sebrang lautan
                Daku sepi menyendiri
                Meskipun surat dikau kirimkan
                Seperti dikau datang sendiri

Anak-anak terlena. Kepala mereka pusing. Matanya berkunang-kunang dan jalannya mulai limbung. Pandangannya terasa gelap. Sejurus kemudian, mereka seperti terhipnotis. Dengan lenggang mentimun mereka berjalan beriringan layaknya bebek cuek menuju sekolah, masuk ke Ruang Tujuh.

Anak-anak berbuat nakal karena pelajaran yang akan dihadapi kali ini adalah pelajaran susah bin sukar dan seram bin ngeri. Bayangkan aja, baru nengok rumus E=mc², bulu kuduk mereka langsung tegak. Terbayang Albert Einstein sepupu jauh babehnya Anes. Kemudian Nagasaki dan Hiroshima, kota di mana saudara jauh enyaknya Manto lahir. Nuklir yang sering dikeluarkan Hendra dan pada akhirnya kuburan massal dekat simpang tugu perjuangan yang dipelihara ipar jauh saudaranya Joelis. Gak pelak deui, kalo belajar Fisika, pikiran anak-anak arahnya selalu ke sana.

Tapi sang pengawas membujuknya.
“Sudahlah, kalen kerjakan itu Fisika. Fisika itu mudah, kok. Mudah. Mudah sekali. Tengok aja Indonesia, bisa rebut Irian Barat. Tengok tentara sekutu, begitu mudahnya merebut Kuwait yang jelas-jelas bukan bagian dari negara mereka!”ucap sang pengawas. (Lho, apa hubungannya?).

“Mudah? Mudah bagi Heffi yang pakai kacamata!”gerutu Karbol. Ini anak emang melihat seseorang pintar atau kagak berdasarkan ada atau tidaknya kacamata di wajahnya. Menurut itu anak, anak-anak pintar gara-gara pake kacamata. Padahal belum tentu anak yang pake kacamata lebih pintar daripada anak yang gak pake kacamata.

Lain lagi dengan Yayan. Ia menyangkal pernyataan sang pengawas dengan bathinnya. Baginya, pernyataan sang pengawas gak bener 100%. Yayan bertip-ex ria di bagian belakang sandaran kursi yang dikuasai oleh Mardiono.

            Bumi ditepuk
Langit ditampar
           Aku tak percaya lagi

Namun demi hutang yang belum dibayar pada Bang Min, anak-anak akhirnya mau juga ngerjainnya. Ada yang hanya nengok-nengok lembar soal. Ada juga yang ngigit penanya. Mungkin lapar berat. Ada juga yang ngeraba-raba jenggotnya yang tumbuh beberapa helai dengan alasan biar tampak sedang berpikir keras. Ada juga yang ngelamun dan entah apa yang dilamunkannya. Pikirannya jauh menerawang ke mana-mana, walaupun perhatiannya seperti tertuju pada lembar soal. Mungkin ....

“Aduh, aku nanti Jum’atan di mana? Jam setengah dua belas, ntar nyanyi bel jelek itu. Nanti terlambat gak ya? Ah, aku pulang aja. Mudah-mudahan gak telat!”ini jelas lamunan Manto yang dikenal karena kealimannya.

Dari situ tampak bahwa itu anak dan anak lainnya juga, hanya menunggu nasib untuk berpihak kepadanya. Menunggu pemberian dari temannya. Hari pertama kan udah janjian untuk saling tolong. Tapi Domen kegerahan jika harus nunggu, nunggu dan nunggu. Ia mencoba untuk lebih agresif. Dibuatnya tulisan dalam secarik kertas, lalu dilemparkannya kepada Yayan yang tampaknya sedang berpikir keras.

Yayan yang sedang mikirin uangnya yang raib ketika naik bis Pembangunan Semesta waktu berangkat ke sekolah, kaget. Dikiranya itu Patriot yang diluncurkan pihak sekutu. Tapi ia masih bisa berpikir jernih. Itu bukan Patriot, melainkan Scud.
“Yan, Tolong Aku. Nomor 3 dan 7!!”
Yayan ngangkat mukanya. Dilihatnya anak malang yang duduk di depan Mardiono itu. Merasa dilihat, Domen nengok ke belakang, lalu tersenyum penuh iba.  Minta segera ditolong. Yayan segera bertindak. Diberikannya kertas tersebut pada Mardiono untuk kemudian diestafetkan pada Domen.
Menerima kertas tersebut, Domen tersenyum senang. Dibukanya kertas itu dengan hari-hati agar sang pengawas gak melihat aksinya. Ya, ampyuuuuun. Yang ada hanya angka 3 dan 7. Lain itu, kagak.
“Yan, mana?”tanya Domen.
“Kau kan minta nomor 3 dan 7?”jawab Yayan nyante.
“Ya, mana?”Domen sedikit gusar.
Lha, itu!”jawab Yayan.
“Ini kan hanya angka 3 dan 7?”Domen bertanya kembali.
“Jadi model angka seperti apa yang kau mau?”Yayan malah balik bertanya.
“Kampret!!!!”Domen menggerutu.
Yayan nyengir mirip kuda. Gitu juga dengan Anes. Ia nyengir mirip Kuda Nil. Sedangkan Mardiono nyengirnya mirip Zebra. Nyengirnya Joelis mirip Kuda-Kudaan. Emang empat orang anak itu, dalam hal cengar-cengir ketahuan jagonya. Gak mau kalah dengan kuda yang banyak nyengirnya daripada meringkik.

Benar juga apa kata pepatah, sepandai-pandainya Maradona main bola, toh akan salah juga. Walaupun kesalahannya itu bisa dikategorikan sebagai kesalahan yang ringan. Nah, begitu pula dengan Nani. Konon Nani adalah anak yang kecerdasannya seabrek. Saking cerdasnya, itu anak gak tahu hari kelima itu tanggal berapa dan karena kecerdasannya pula, Nani lupa kartu ujiannya.

Lalu apa hubungannya dengan pepatah itu? Ternyata Nani menemukan jalan buntu dalam ngerjain Fisika. Wajar karena anak yang lainnya juga demikian. Hanya Nani terlambat dalam menemukan jalan buntunya karena pakai acara keliling Kota Binjai. Nah, untuk menembus jalan yang buntu itu, Nani berusaha mencari informasi dan Odor yang duduk di belakangnya, gak nolak untuk ngasih kopean.
“A i u e o!”Odor berujar dalam bisik-bisik.
“Apa?”tanya Nani.
“A b c d!”ulang Odor.
“Aku gak denger. Keraslah dikit!”pinta Nani.
Ah, udahlah. Kau ambil aja lembar jawabanku!”usul Odor.
“Ok!”sambut Nani.

Manakala sang pengawas sedang memeriksa sesuatu, entah apa, Nani gak nyia-nyiain kesempatannya untuk menerima lembar jawaban Odor. (Perlu diingat, kesempatan itu layaknya embun di pagi hari. Jangan berharap dapat meraih embun bila pagi telah pergi. Maka, janganlah kesempatan dibiarkan berlalu begitu aja). Sambil mata tertuju tajam kepada sang pengawas, Nani menjulurkan tangannya untuk meraih kertas dari Odor. Apa daya, ketika lembar jawaban Odor akan diletakkan di mejanya, sang pengawas melihatnya. 

Spontan itu anak ngembaliin.
Napa dibalikin?”tanya sang pengawas.
Nani gak bicara.
Nyalinnya udah? Cepat kali kau!”ucap sang pengawas.
“Hahaha!”tawa anak-anak renyah.
“Sialan!”gumam Nani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar