Minggu, 22 Desember 2013

ENAM


Kimia? Elektronika?
Ya, hari ini, 24 Mei 1991, kedua pelajaran itu akan diujikan. Dan seperti biasanya, sebelum bel bernyanyi riang, anak-anak ngadain acara gosip. Semua penghuni Ruang Tujuh luber di dalamnya dan gak ketinggalan wakil dari Ruang Enam dan Delapan yang juga kesatuan dari kelas dua biologi dua, walaupun partisipasi dari mereka hanya sebagai pengamat dan pendengar setia. Acara tersebut diramalkan akan berlangsung seru.
Tidak seperti sebelumnya, dalam acara gosip kali ini, mereka membicarakan masalah yang lain daripada masalah lain. Masalah apa? Masalah bocornya soal Ebtanas SMP yang dimuatberitakan Koran Kompas tanggal 23 Mei 1991. Mereka gosipin masalah tersebut karena menurut mereka pantas untuk digosipin. Kan gak ada larangan untuk itu?

“Wah enaknya anak-anak SMP!”Anes buka acara. Ini anak emang sukanya jadi pembuka. Pokoknya dalam acara buka-bukaan, Anes yang paling duluan untuk ngebukanya. Menurut Anes, lebih baik ngebuka daripada dibuka. Dan Anes berpendapat, akan lebih baik jika jadi pembuka daripada masuk setelah dibuka orang lain. Dalam hal ini, tentu bukan untuk menjadi pencuri. Melainkan masuk kelas paling dulu dan ngebukain pintu untuk yang lainnya. Hebat, kan?

Bayangin aja, akan jadi mudahnya mereka menjawab soal demi soal. Andai kita yang mengalaminya!”lanjut Anes.
“Kita kan masih kelas dua!”seru Hadi.
“Maksudku nanti, setelah kita naik di kelas tiga!”ralat Anes sambil gak lupa nyengir. Tentu dengan nyengirnya yang khas. Masih ingat? Yap, nyengir Kuda Nil.

“Menurutku, itu jalan merugikan. Itu akan merusak masa depan mereka. Bagaimana jadinya bangsa kita di tahun 2000 bilamana generasi yang akan melanjutkannya demikian? Apa kita akan hidup di Zaman Purba? Gak amis. Gak logis. Gak Manis. Gak necis n gak ‘is-is’an lainnya. Mungkin bagi Anes oke-oke aja karena Anes manusia Purba yang tahan karat. Hehe...!”ini pendapat Iyem.

O ya, terlupakan. Anes itu punya terusan pada namanya, yaitu Purba. Mungkin karena itu Iyem berani berpendapat demikian. Akan tetapi bila diteliti lebih lanjut, gak salah pula Iyem berpendapat demikian karena ada benarnya. Ini bila dilihat dari kiri, itu anak mirip Superboy. Kanan, mirip Superman. Pas belakang, uh mirip Supermie. Dan lebih celaka lagi karena ternyata, depannya itu, anatominya gak jauh beda dengan Pithecanthropus Erectus.

Tapi kalau jumpa Anes, pasti akan terkejut karena kenyataannya gak demikian. Dia ganteng, tampan, kece dan gentleman walaupun agak sikit pemalu. Sayang, itu semua hanya tampak bila Anes berada di antara kerabat jauhnya, yaitu Orang Utan. Selain itu, maaf-maaf aja. Kegantengannya, ketampanannya, kekeceannya dan kegentlemannya, hilang dan tenggelam. Sedangkan sifatnya yang sedikit pemalu bertambah menjadi sifat yang agak urakan, gak kenal malu n kagak tahu malu.
Kasihan!!!

“Sok Fuad Hasan kau!!!”ucap Karbol.
Iyem pura-pura gak nguping.
“Betul kata Iyem. Kita jangan mau untuk jadi dan dijadiin generasi yang otaknya ndableg. Gak bisa apa-apa. Kita harus dan mesti jadi generasi yang mampu ngadepin dan mengatasi semua masalah. Kalau bisa kita harus jadi generasi yang tidak hanya jadi generasi penerus aja, tetapi juga jadi generasi pencipta. Adalah tugas kita juga untuk bikin yang belum baik jadi baik dan yang baik jadi lebih baik. Lalu, aku rasa kita gak bisa berbuat seperti mereka. Ekonomi kita gak bakalan sanggup. Bayangin aja, untuk satu soal kita harus ngeluarin antara tiga ratus ribu sampai satu juta rupiah. Jajan gede dalam sehari hanya untuk beberapa lembar kertas soal dan jawaban. Paling banyak hanya lima lembar. Uh, rugi besar!!!”cerocos Mardiono.

“Aku sependapat dengan kau, Mar!”ujar Iyem.
“Seandainya kita bisa, kerugian akan kita rasakan baik di masa sekarang atau nanti. Pokoknya, kita jangan berbuat begitu. Kalau Babeh dan Enyak kita-kita nyuruh berbuat demikian, kita harus mencegahnya dan bila perlu, kita beri peringatan. Eh, pengertian. Bahwa perbuatan itu hanya akan menjerumuskan kita dan bukannya membantu kita. Cukuplah bagi kita dengan nyontek atau membuat kopean. Akan lebih amis, lebih logis, lebih manis, lebih necis dan lebih ‘is-is’an lainnya jika kita menghafal!”ini jelas pendapat Iyem punya.

“Benar, tapi aku yang duduk di barisan dekat jendela, gak bisa leluasa untuk nyontek atau minta jawaban pada kalen!”kata Erni.
Acara gosip mulai menyimpang dari tema.
“Aku juga!”teriak Elis.
“Tapi menurut aku, justru kalen yang paling enak. Kalen bisa nyontek dengan leluasa!”bantah Imelda.
“Apanya yang leluasa?”kilah Heffi. Ini anak juga senasib dengan Erni dan Elis.
“Eiiiiit, jangan panas gini, ah!”ucap Yayan.
Gak amis, gak logis, gak manis, gak necis dan gak ‘is-is’an lainnya bila hanya gara-gara ini terjadi gontok-gontokan di antara kita. Keluhan kalian yang duduk di barisan dekat jendela, kita perhatikan dan sumbangan dari kita yang duduk di barisan lain akan lebih ditingkatkan. Ok?”lanjut Yayan.
“Ok ya ok, tapi jangan niru kamus aku donk!”ucap Iyem ketus. Rupanya Iyem gak terima kamusnya ditiru orang lain, walaupun yang nirunya itu, temannya sendiri.

Anak-anak berhaha-ria.
Suasanapun layaknya pasar bubar. Hingar bingar.
Elis, Erni, Nando dan Heffi tersenyum senang. Nasib mereka sebagai anak-anak yang duduk di barisan dekat jendela, dapet perhatian dari yang lainnya.
“Nah, gitu donk. Senyum. Jangan karena telat dapet bantuan, ngambek gede. Cepat tua, lho!”kelakar Hunter.
Elis, Erni, Nando dan Heffi tersipu malu.
“Senyum kalian boleh juga, lho. Coba donk sekali lagi. Lumayan buat ngusir nyamuk jahil dan iseng yang masih betah di dalam laci!”koar Mahaganta.
Anak-anak berhaha-ria lagi.
*
Anak-anak bergegas.
Bel sudah bernyanyi keras.
Anak-anak duduk manis.
Biar amis.
Biar logis.
Biar manis.
Biar necis.
Dan is-is yang sejenis.
Itu jelas puisi Iyem.
*
“Selamat pagi, anak-anak!”sapa sang pengawas.
“Selamat pagi Sabun Giv, Pak!”balas Yayan. Ini anak tampaknya nekad. Terlalu nekad.
Sang pengawas bengong. Mulutnya membola. Anak-anakpun demikian. Heran dengan tingkah Yayan. Tapi karena udah perjanjian, anak-anak bertindak cepat dan tepat. Mereka langsung ngikutin langkah Yayan. Gak bengong berkepanjangan.
“Selamat pagi Sabun Giv, Pak!”
Sang pengawas makin bengong.
Ketika beliau membagikan soal pada Yayan, beliau memperlihatkan kedua bola matanya yang gede-gede. Iitu anak spontan memalingkan mukanya. Ngeri.

Selanjutnya suasana ujian. Sunyi. Sepi.
Dan segera berubah.
Seorang guru sambil membawa sebuah kaleng berwarna merah dengan motif bunga, memasuki Ruang Tujuh. Kaleng itu gak berisi kue, mungkin minta diisi. Tapi jelas keliru jika dibawa masuk ke Ruang Tujuh. Di situ kan gak ada pabrik kue. Jangankan pabrik kue, penjaja kuepun kagak ada dan yang ada hanya pemakan kue. Karbol, namanya. Anak gajah berbadan gemuk ini, cocok untuk mendapat tuduhan tersebut. Konspirasi kecil.

Namun, alhamdulillah, setelah Hunter yang berpangkat sersan melakukan sebuah penyidikan dan penyelidikan, terungkaplah misterinya. Rasanya gak percuma Hunter memakai lencana LAPD-nya di celana dalamnya. Kok bisa tahu? Karena itu anak suka jemur celana dalamnya di sembarang tempat dengan alasan biar cepat kering.

Mau tahu hasil penyelidikannya?
Ternyata...
Manto yang alim maju ke depan.
“Mari teman-teman kita berdoa. Kedua tangan ditengadahkan. Sambil mengenang jasa-jasa beliau, berdoalah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa, kita mulai,,,”
“Ya Tuhan kami yang Maha Pengampun, ampunilah dosa dan segala khilaf beliau. Terhadap segala amal baiknya, balaslah dengan kebaikan yang berlipat. Aamiin!”Manto menutup doa.
“Aamiin!”anak-anak mengusap mukanya.

Hendra yang kebetulan duduk paling depan, oleh beliau diberi tugas untuk berkeliling ke tiap barisan. Di depan meja Suka, ia mendapat perlakuan kurang sopan. Suka memberikan uangnya dengan menggunakan mulut karena kedua tangannya sedang buka-buka buku tulisnya. Kesempatan. Tapi sang guru yang membawa kaleng, melihatnya. Dibelalakkannya kedua mata beliau ke arah Suka. Itu anak mengulanginya kembali.

Selesai berkeliling, Hendra memberikan kalengnya.
“Honornya, Pak?”
“Honor apaan?”beliau balik bertanya.
“Saya kan udah keliling!”
Nich!”beliau memberikan sebuah uang logam bergambar burung merak.
“Ya, Bapak. Kok cuma limpul, Pak?”
“Tadi kau ngasih berapa?”
“Sepuluh ribu!”Hendra berbohong.
Nich!”beliau memberikan lagi uang logam bergambar sama.
“Ya, Bapak. Kok limpul lagi, Pak?”
“Yang sembilan ribu sembilan ratusnya, dengan uang kau aja dululah. Bisa, kan?”
Hendra hendak protes, tapi entah kenapa ia malah mengangguk, tanda setuju.
“Ah, bodohnya diri ini!”bathin Hendra setelah sang guru yang membawa kaleng itu meninggalkan Ruang Tujuh.

Suasana kembali larut dalam lembar soal dan jawaban.
Dan permainan dimulai kembali.
Merasa sang pengawas yang kini duduk dekat pintu sedang gak perhatian, Suka nekad melempar sesuatu kepada Roni. Tapi, ibarat diberi tahu oleh dinding kelas yang bisa bicara, sang pengawas mengetahuinya juga. Peristiwa tersebut tertangkap basah. Hujan kaleeee...
“Apa yang kau lempar, hah? Scud ya?”tanya beliau yang tetap duduk di atas kursinya.
“Bukan, Pak!”
“Lalu apa?”
“Patriot, Pak!”
“Bawa sini!”

Suka ngambil barang yang ia lempar lalu membawanya pada sang pengawas. Usai itu, Suka duduk kembali.
“Ini bukan Patriot!”ucap beliau.
“Lalu apa, Pak?”tanya Ozie.
“Tomahawk!”jawab beliau mantap.
Suka didekatinya.
“Kamu minta nomor berapa?”
“Nomor dua, Pak!”jawab Suka malu-malu.
“Nomor satu sudah?”
“Belum, Pak!”
Kok, gak sekaligus?”
“Takut terlalu lama, Pak!”
“Kalau terlalu lama, ada apa?”
“Patriotnya meledak, Pak!”
“Hahaha,”tawa anak-anak.
“Bukan Patriot, Tomahawk!”
“Oh ya, Pak! Tomahawk!”

Beliau memberikan kertas yang berukuran kecil itu pada Roni dan menyuruhnya untuk nyalin nomor dua buat Suka. Mulanya Roni bimbang. Ragu.
“Ayo salin!”perintah beliau.
Roni masih dalam kebimbangan. Dalam keraguan.
“Tulis aja, Ron!”ujar Yayan.
“Kita kan udah janjian!”dukung Joelis.
“Betul, Ron!”lanjut Yayan.

Dengan tidak adanya veto dari dua temannya, Roni mau juga nyalinnya. Usai disalin, diberikannya kepada Suka.
“Cepat kau salin!”perintah sang pengawas pada Suka.
Suka masih terdiam. Ia masih enggan menyentuh kertas yang ia lempar yang sekarang ada di mejanya dengan jawaban nomor dua.
“Cepat kau salin! Dia udah cape, tuh!”ucap sang pengawas memberi penegasan seraya duduk kembali di tempatnya.
Suka belum juga menggerakkan penanya.
Gak kau salin rupanya?”tanya sang pengawas.
Suka masih terdiam.
“Aku ambil!”ancam sang pengawas sambil mendekati Suka.
Sejurus kemudian, Suka menyalinnya. Cepat banget.
“O, sedang kau salin rupanya!”
“Hahaha!”gelak anak-anak.
Kirain gak mau kau”beliau duduk kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar