Kimia? Elektronika?
Ya, hari ini, 24 Mei 1991, kedua
pelajaran itu akan diujikan. Dan seperti biasanya, sebelum bel bernyanyi riang,
anak-anak ngadain acara gosip. Semua
penghuni Ruang Tujuh luber di
dalamnya dan gak ketinggalan wakil
dari Ruang Enam dan Delapan yang juga kesatuan dari kelas dua biologi dua,
walaupun partisipasi dari mereka hanya sebagai pengamat dan pendengar setia.
Acara tersebut diramalkan akan berlangsung seru.
Tidak seperti sebelumnya, dalam
acara gosip kali ini, mereka membicarakan masalah yang lain daripada masalah
lain. Masalah apa? Masalah bocornya soal Ebtanas SMP yang dimuatberitakan Koran
Kompas tanggal 23 Mei 1991. Mereka gosipin
masalah tersebut karena menurut mereka pantas untuk digosipin. Kan gak ada
larangan untuk itu?
“Wah enaknya anak-anak SMP!”Anes
buka acara. Ini anak emang sukanya
jadi pembuka. Pokoknya dalam acara buka-bukaan, Anes yang paling duluan untuk ngebukanya. Menurut Anes, lebih baik ngebuka daripada dibuka. Dan Anes
berpendapat, akan lebih baik jika jadi pembuka daripada masuk setelah dibuka
orang lain. Dalam hal ini, tentu bukan untuk menjadi pencuri. Melainkan masuk
kelas paling dulu dan ngebukain pintu
untuk yang lainnya. Hebat, kan?
“Bayangin aja, akan jadi mudahnya mereka menjawab soal demi soal.
Andai kita yang mengalaminya!”lanjut Anes.
“Kita kan masih kelas dua!”seru
Hadi.
“Maksudku nanti, setelah kita
naik di kelas tiga!”ralat Anes sambil gak
lupa nyengir. Tentu dengan nyengirnya
yang khas. Masih ingat? Yap, nyengir Kuda Nil.
“Menurutku, itu jalan merugikan.
Itu akan merusak masa depan mereka. Bagaimana jadinya bangsa kita di tahun 2000
bilamana generasi yang akan melanjutkannya demikian? Apa kita akan hidup di
Zaman Purba? Gak amis. Gak logis. Gak Manis. Gak necis n gak
‘is-is’an lainnya. Mungkin bagi Anes oke-oke aja karena Anes manusia Purba yang
tahan karat. Hehe...!”ini pendapat Iyem.
O ya, terlupakan. Anes itu punya
terusan pada namanya, yaitu Purba. Mungkin karena itu Iyem berani berpendapat
demikian. Akan tetapi bila diteliti lebih lanjut, gak salah pula Iyem berpendapat demikian karena ada benarnya. Ini
bila dilihat dari kiri, itu anak mirip Superboy. Kanan, mirip Superman. Pas
belakang, uh mirip Supermie. Dan
lebih celaka lagi karena ternyata, depannya itu, anatominya gak jauh beda dengan Pithecanthropus Erectus.
Tapi kalau jumpa Anes, pasti akan
terkejut karena kenyataannya gak
demikian. Dia ganteng, tampan, kece
dan gentleman walaupun agak sikit pemalu. Sayang, itu semua hanya
tampak bila Anes berada di antara kerabat jauhnya, yaitu Orang Utan. Selain
itu, maaf-maaf aja. Kegantengannya, ketampanannya, kekeceannya dan kegentlemannya, hilang dan tenggelam. Sedangkan sifatnya yang
sedikit pemalu bertambah menjadi sifat yang agak urakan, gak kenal malu n kagak tahu malu.
Kasihan!!!
“Sok Fuad Hasan kau!!!”ucap
Karbol.
Iyem pura-pura gak nguping.
“Betul kata Iyem. Kita jangan mau
untuk jadi dan dijadiin generasi yang
otaknya ndableg. Gak bisa apa-apa. Kita harus dan mesti jadi generasi yang mampu ngadepin dan mengatasi semua masalah.
Kalau bisa kita harus jadi generasi yang tidak hanya jadi generasi penerus aja, tetapi juga jadi generasi pencipta.
Adalah tugas kita juga untuk bikin
yang belum baik jadi baik dan yang baik jadi lebih baik. Lalu, aku rasa kita gak bisa berbuat seperti mereka. Ekonomi
kita gak bakalan sanggup. Bayangin aja, untuk satu soal kita harus
ngeluarin antara tiga ratus ribu
sampai satu juta rupiah. Jajan gede
dalam sehari hanya untuk beberapa lembar kertas soal dan jawaban. Paling banyak
hanya lima lembar. Uh, rugi
besar!!!”cerocos Mardiono.
“Aku sependapat dengan kau,
Mar!”ujar Iyem.
“Seandainya kita bisa, kerugian
akan kita rasakan baik di masa sekarang atau nanti. Pokoknya, kita jangan
berbuat begitu. Kalau Babeh dan Enyak kita-kita nyuruh berbuat demikian, kita harus mencegahnya dan bila perlu,
kita beri peringatan. Eh, pengertian. Bahwa perbuatan itu hanya akan
menjerumuskan kita dan bukannya membantu kita. Cukuplah bagi kita dengan
nyontek atau membuat kopean. Akan
lebih amis, lebih logis, lebih manis, lebih necis dan lebih ‘is-is’an lainnya
jika kita menghafal!”ini jelas pendapat Iyem punya.
“Benar, tapi aku yang duduk di
barisan dekat jendela, gak bisa
leluasa untuk nyontek atau minta
jawaban pada kalen!”kata Erni.
Acara gosip mulai menyimpang dari
tema.
“Aku juga!”teriak Elis.
“Tapi menurut aku, justru kalen yang paling enak. Kalen bisa nyontek dengan leluasa!”bantah Imelda.
“Apanya yang leluasa?”kilah
Heffi. Ini anak juga senasib dengan Erni dan Elis.
“Eiiiiit, jangan panas gini, ah!”ucap Yayan.
“Gak amis, gak logis, gak manis, gak necis dan gak
‘is-is’an lainnya bila hanya gara-gara ini terjadi gontok-gontokan di antara kita. Keluhan kalian yang duduk di
barisan dekat jendela, kita perhatikan dan sumbangan dari kita yang duduk di
barisan lain akan lebih ditingkatkan. Ok?”lanjut Yayan.
“Ok ya ok, tapi jangan niru kamus aku donk!”ucap Iyem ketus.
Rupanya Iyem gak terima kamusnya
ditiru orang lain, walaupun yang nirunya
itu, temannya sendiri.
Anak-anak berhaha-ria.
Suasanapun layaknya pasar bubar.
Hingar bingar.
Elis, Erni, Nando dan Heffi
tersenyum senang. Nasib mereka sebagai anak-anak yang duduk di barisan dekat
jendela, dapet perhatian dari yang
lainnya.
“Nah, gitu donk. Senyum. Jangan karena telat dapet bantuan, ngambek gede.
Cepat tua, lho!”kelakar Hunter.
Elis, Erni, Nando dan Heffi
tersipu malu.
“Senyum kalian boleh juga, lho. Coba donk sekali lagi. Lumayan buat ngusir
nyamuk jahil dan iseng yang masih betah di dalam laci!”koar Mahaganta.
Anak-anak berhaha-ria lagi.
*
Anak-anak bergegas.
Bel sudah bernyanyi keras.
Anak-anak duduk manis.
Biar amis.
Biar logis.
Biar manis.
Biar necis.
Dan is-is yang sejenis.
Itu jelas puisi Iyem.
*
“Selamat pagi, anak-anak!”sapa
sang pengawas.
“Selamat pagi Sabun Giv, Pak!”balas
Yayan. Ini anak tampaknya nekad. Terlalu nekad.
Sang pengawas bengong. Mulutnya
membola. Anak-anakpun demikian. Heran dengan tingkah Yayan. Tapi karena udah perjanjian, anak-anak bertindak cepat
dan tepat. Mereka langsung ngikutin
langkah Yayan. Gak bengong
berkepanjangan.
“Selamat pagi Sabun Giv, Pak!”
Sang pengawas makin bengong.
Ketika beliau membagikan soal
pada Yayan, beliau memperlihatkan kedua bola matanya yang gede-gede. Iitu anak
spontan memalingkan mukanya. Ngeri.
Selanjutnya suasana ujian. Sunyi.
Sepi.
Dan segera berubah.
Seorang guru sambil membawa
sebuah kaleng berwarna merah dengan motif bunga, memasuki Ruang Tujuh. Kaleng
itu gak berisi kue, mungkin minta
diisi. Tapi jelas keliru jika dibawa masuk ke Ruang Tujuh. Di situ kan gak ada pabrik kue. Jangankan pabrik
kue, penjaja kuepun kagak ada dan
yang ada hanya pemakan kue. Karbol, namanya. Anak gajah berbadan gemuk ini,
cocok untuk mendapat tuduhan tersebut. Konspirasi kecil.
Namun, alhamdulillah, setelah
Hunter yang berpangkat sersan melakukan sebuah penyidikan dan penyelidikan,
terungkaplah misterinya. Rasanya gak
percuma Hunter memakai lencana LAPD-nya di celana dalamnya. Kok bisa tahu? Karena itu anak suka
jemur celana dalamnya di sembarang tempat dengan alasan biar cepat kering.
Mau tahu hasil penyelidikannya?
Ternyata...
Manto yang alim maju ke depan.
“Mari teman-teman kita berdoa.
Kedua tangan ditengadahkan. Sambil mengenang jasa-jasa beliau, berdoalah
menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa, kita mulai,,,”
“Ya Tuhan kami yang Maha
Pengampun, ampunilah dosa dan segala khilaf beliau. Terhadap segala amal
baiknya, balaslah dengan kebaikan yang berlipat. Aamiin!”Manto menutup doa.
“Aamiin!”anak-anak mengusap
mukanya.
Hendra yang kebetulan duduk
paling depan, oleh beliau diberi tugas untuk berkeliling ke tiap barisan. Di
depan meja Suka, ia mendapat perlakuan kurang sopan. Suka memberikan uangnya
dengan menggunakan mulut karena kedua tangannya sedang buka-buka buku tulisnya.
Kesempatan. Tapi sang guru yang membawa kaleng, melihatnya. Dibelalakkannya
kedua mata beliau ke arah Suka. Itu anak mengulanginya kembali.
Selesai berkeliling, Hendra
memberikan kalengnya.
“Honornya, Pak?”
“Honor apaan?”beliau balik
bertanya.
“Saya kan udah keliling!”
“Nich!”beliau memberikan sebuah uang logam bergambar burung merak.
“Ya, Bapak. Kok cuma limpul, Pak?”
“Tadi kau ngasih berapa?”
“Sepuluh ribu!”Hendra berbohong.
“Nich!”beliau memberikan lagi uang logam bergambar sama.
“Ya, Bapak. Kok limpul lagi, Pak?”
“Yang sembilan ribu sembilan
ratusnya, dengan uang kau aja
dululah. Bisa, kan?”
Hendra hendak protes, tapi entah kenapa ia malah mengangguk, tanda
setuju.
“Ah, bodohnya diri ini!”bathin
Hendra setelah sang guru yang membawa kaleng itu meninggalkan Ruang Tujuh.
Suasana kembali larut dalam lembar
soal dan jawaban.
Dan permainan dimulai kembali.
Merasa sang pengawas yang kini
duduk dekat pintu sedang gak
perhatian, Suka nekad melempar sesuatu kepada Roni. Tapi, ibarat diberi tahu
oleh dinding kelas yang bisa bicara, sang pengawas mengetahuinya juga.
Peristiwa tersebut tertangkap basah. Hujan kaleeee...
“Apa yang kau lempar, hah? Scud ya?”tanya beliau yang tetap
duduk di atas kursinya.
“Bukan, Pak!”
“Lalu apa?”
“Patriot, Pak!”
“Bawa sini!”
Suka ngambil barang yang ia lempar lalu membawanya pada sang pengawas.
Usai itu, Suka duduk kembali.
“Ini bukan Patriot!”ucap beliau.
“Lalu apa, Pak?”tanya Ozie.
“Tomahawk!”jawab beliau mantap.
Suka didekatinya.
“Kamu minta nomor berapa?”
“Nomor dua, Pak!”jawab Suka
malu-malu.
“Nomor satu sudah?”
“Belum, Pak!”
“Kok, gak sekaligus?”
“Takut terlalu lama, Pak!”
“Kalau terlalu lama, ada apa?”
“Patriotnya meledak, Pak!”
“Hahaha,”tawa anak-anak.
“Bukan Patriot, Tomahawk!”
“Oh ya, Pak! Tomahawk!”
Beliau memberikan kertas yang
berukuran kecil itu pada Roni dan menyuruhnya untuk nyalin nomor dua buat Suka. Mulanya Roni bimbang. Ragu.
“Ayo salin!”perintah beliau.
Roni masih dalam kebimbangan.
Dalam keraguan.
“Tulis aja, Ron!”ujar Yayan.
“Kita kan udah janjian!”dukung Joelis.
“Betul, Ron!”lanjut Yayan.
Dengan tidak adanya veto dari dua
temannya, Roni mau juga nyalinnya.
Usai disalin, diberikannya kepada Suka.
“Cepat kau salin!”perintah sang
pengawas pada Suka.
Suka masih terdiam. Ia masih
enggan menyentuh kertas yang ia lempar yang sekarang ada di mejanya dengan
jawaban nomor dua.
“Cepat kau salin! Dia udah cape, tuh!”ucap sang pengawas
memberi penegasan seraya duduk kembali di tempatnya.
Suka belum juga menggerakkan
penanya.
“Gak kau salin rupanya?”tanya sang pengawas.
Suka masih terdiam.
“Aku ambil!”ancam sang pengawas
sambil mendekati Suka.
Sejurus kemudian, Suka
menyalinnya. Cepat banget.
“O, sedang kau salin rupanya!”
“Hahaha!”gelak anak-anak.
“Kirain gak mau kau”beliau
duduk kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar